Reklamasi lahan bekas tambang batubara

 on Wednesday 28 January 2015  



BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kualitas hidup manusia,  telah dimulai sejak adanya  kehidupan diatas dipermukaan bumi ini ; dimana menurut  Karwan (2003) mengatakan bahwa dasar dari kehidupan diatas bumi adalah tanah, dan manusia menempati kedudukan yang paling tinggi.    Manusia sebagai makhluk hidup selalu berinteraksi dengan lingkungannya, adanya interaksi antara manusia dan lingkungannya, mengakibatkan  ketidakseimbangan ekologi atau ekosistem seperti ; kerusakan lahan, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya,  keadaan ini makin diperbesar dengan adanya penggalian, penambangan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara tidak terkendali untuk memenuhi kebutuhan dan menunjang kehidupan manusia. 
Menurut Mathew [dkk], (2010), kita perlu menyadari bahwa adanya interaksi dan perkembangan teknologi serta  budaya yang ada dalam kehidupan manusia, merupakan suatu tantangan dan akan menimbulkan berbagai macam permasalahan dalam ekologi. Tingkat peradaban manusia yang semakin hari semakin berkembang membuat kita senantiasa berurusan dengan lingkungan yang semakin hari semakin sulit untuk dihindari. Perkembangan lingkungan yang semakin tercemar memungkinkan terjadinya suatu krisis terhadap lingkungan hidup dan lingkungan sosial.   Tantangan ini berlaku terutama di negara-negara yang sedang membangun karena adanya berbagai aktivitas pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan umat manusia yang sering pula membawa dampak terhadap perubahan lingkungan (Rensi, 2012).

1.2. Identifikasi Masalah
Sampai saat ini Negara-negara didunia ini termasuk Indonesia, sebagai Negara yang sedang  berkembang dalam kegiatan pembangunan nasional masih memerlukan energi, yang berasal dari sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (Non Renewable resources) seperti ; batubara, minyak dan gas.  Menurut  Peacock (2008) mengatakan bahwa ;  batubara tidak ideal sebagai  sumber energi,  Karena  (1) Tidak efisien, dan dalam proses pembakaran batu bara, hampir 2/3 dari energi yang dikeluarkan dal;am bentuk asap, hanya 1/3 yang  dapat dipergunakan menjadi energi  listrik. (2) batubara melepaskan sejumlah besar karbon dioksida dan gas metana, efek rumah kaca berpengaruh, ke atmosfer, (3) pertambangan adalah bisnis berbahaya. Para penambang sering mati bawah tanah, dan mereka mengalami penyakit paru-paru yang akut. Selain itu, strip tambang melenyapkan top soil, pasokan racun air di dekatnya, dan mengubah ekosistem hidup menjadi tanah yang ditelantarkan dan pada akhirnya menjadi lahan tidur  (Sleeping Land), khususnya di negara-negara berkembang pengelolaannya tidak diatur.
Menurut Bramas (2012) bahwa Perubahan iklim merupakan fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan perindustrian.  Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbondioksida (CO2) yang memiliki kontribusi terbesar pada peningkatan suhu permukaan bumi. Hal inilah yang memicu tuduhan bahwa kerusakan yang terjadi pada hutan tropik telah menyebabkan pemanasan global (Soemarwoto 1992).
Masalah-masalah lingkungan hidup dapat menjadi bencana yang bisa mempengaruhi kualitas hidup manusia. Tanda-tanda masalah lingkungan hidup seperti adanya polusi, global warming, fotokimia kabut, hujan asam, erosi, banjir, instrusi dan lain sebagainya sudah mulai terlihat sejak pertengahan abad ke -20. Masalah-masalah mengenai kerusakan lingkungan tentunya harus mulai lebih diperhatikan dalam rangka memberikan suatu pemahaman yang baru agar dapat memberikan suatu cara pandang yang mengedepankan adanya suatu upaya perlindungan terhadap lingkungan sehingga secara tidak langsung dapat memberikan suatu konstribusi dalam menghindari bahaya ikutan yang lebih parah terhadap perkembangan manusia dan makhluk hidup yang selama ini mendiami bumi maupun terhadap kelestarian lingkungan hidup (Rensi 2012).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas adanya  pertambangan batubara yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah yang berlaku,  akan menimbulkan dan memperparah kerusakan lingkungan  yang  akan berdampak pada tatanan kehidupan manusia terutama sosial ekonomi masyarakat dan yang lebih jauh lagi adalah tidak terjaminnya kualitas kehidupan manusia, hal ini merupakan ancaman baru  bagi kehidupan manusia diatas permukaan bumi ini.  Dalam rangka mempertahankan kelestarian lingkungan dan pembangunan berlanjutan maka perlu adanya reklamasi lahan bekas tambang batubara tersebut.
1.3. Tujuan dan Manfaat
a.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui dampak penambangan batubara
2.      Untuk mengetahui pentingnya  reklamasi lahan bekas tambang batubara
3.      Untuk Mengetahui solusi /alternatif reklamasi lahan bekas tambang batubara
b.      Manfaat
1.      Mendukung/menunjang pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
2.      Sebagai alternatif mengatasi kerusakan lingkungan
  

 
               BAB II.  TEORI REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG
BATUBARA

2.1. Dampak Pertambangan Batubara
Sumber Daya Alam (SDA) yang meliputi vegetasi, tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan Nasional oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan kepentingan pembangunan nasional dengan memperhatikan kelestariannya.
Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumberdaya alam adalah kegiatan
pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan salah satu sektor  penyumbang devisa negara yang terbesar.  Menurut Soemarno (2006) bahwa keberadaan pertambangan secara signifikan menjadi sektor yang sangat strategis dan sentral dalam kerangka pembangunan nasional. Namun demikian kegiatan pertambangan apabila tidak dilaksanakan secara tepat dapat menimbulkan dampak negatif  terhadap lingkungan terutama gangguan keseimbangan permukaan tanah yang cukup besar.
Dampak lingkungan kegiatan pertambangan antara lain : penurunan produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya
gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk, serta perubahan iklim mikro.
 Dampak negatif kegiatan pertambangan terhadap lingkungan tersebut perlu
dikendalikan untuk mencegah kerusakan di luar batas kewajaran. Salah satu upaya meminimalisir kerusakan tersebut adalah dengan melakukan reklamasi.  Prinsip kegiatan Reklamasi adalah : (1) kegiatan Reklamasi harus dianggap sebagai kesatuan yang utuh dari kegiatan penambangan (2) kegiatan Reklamasi harus dilakukan sedini mungkin dan tidak harus menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan (Latifah, 2003).
Perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi serta tumbuhnya industri yang begitu pesat, tentunya dirasakan pengaruhnya baik itu yang menyangkut dampak positif  maupun dampak negatifnya.   Dampak positifnya tentunya terjadinya peningkatan mutu dan kualitas hidup yang lebih komplek dengan ditandai dengan adanya kesenangan dan impian manusia yang menjadi lebih mudah untuk diwujudkan dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai contoh, pertambangan batubara di Kalimantan Selatan,  perusahaan skala besar yang mengelola tambang batu bara di Kalimantan Selatan  berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pengembangan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) ada beberapa buah diantaranya PT. Adaro Indonesia, PT. Arutmin Indonesia, PT. Bantala Coal Mining, dan beberapa lagi. Sementara perusahaan kecil melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan oleh kabupaten/kota menyusul adanya era otonomi daerah yang jumlah perizinnanya ratusan buah,  belum termasuk ratusan perusahaan penambangan tanpa ijin (Peti) yang dilakukan secara kelompok atau perorangan yang sangat menyemarakkan usaha pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan  tersebut. Merebaknya tambang batu bara di “bumi Pangeran Antasari” tersebut menimbulkan gairah di bidang ekonomi, dimana devisa terus saja mengalir dari hasil ekspor tambang itu dengan tujuan berbagai negara di dunia.
Catatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kalimantan Selatan tahun 2007,  sekitar 60 persen nilai ekspor non migas asal propinsi ini atau sekitar 1,5 miliar Dolar AS per tahun berasal dari ekspor tambang batubara, bukan saja untuk ekspor, ternyata hasil tambang batubara tersebut kini diperebutkan pula untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT. PLN (Persero) seperti PLTU Suryalaya Jawa Barat, PLTU Paiton Jawa Timur, dan PLTU Asam-Asam Kalimantan Selatan  sendiri, disamping untuk kebutuhan industri lainnya di tanah air. Oleh sebab itu, banyak kalangan yang telah mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup mereka secara meteriil setelah memperoleh porsi dari mengelola tambang batu bara tersebut.  Tak heran apabila dalam suatu wilayah yang tadinya termasuk wilayah relatif miskin berubah menjadi kawasan yang kaya raya, sebagai contoh ;  kawasan Kecamatan Satui dan Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kecamatan Pegaron Kabupaten Banjar, Kecamatan Jorong Kabupaten Tanah Laut, dan beberapa wilayah di Kabupaten Tapin, Kotabaru, Balangan, serta Kabupaten Tabalong.  Banyak warga yang tadinya hanya sebagai petani atau buruh atau pedagang kecilan serta pegawai negeri sipil (PNS) rendahan sekarang berubah menjadi “saudagar kaya”. Tadinya hanya memanggul cangkul sekarang sudah bergaya, memakai mobil mewah, bahkan sebagian rakyat yang selama ini miskin juga terkena imbasnya dengan meningkatkan perekonomian masyarakat tersebut (Hasan, 2007).  Sedangkan  dampak negatif dari adanya pertambangan batubara terjadi suatu kerusakan dalam tatanan lingkungan yang ada baik itu lingkungan hidup, maupun lingkungan sosial.  Dalam perkembangannya, tatanan lingkungan hidup maupun lingkungan sosial hendaknya senantiasa diperhatikan agar tidak mendatangkan berbagai jenis bencana,  Bagaimana tidak, di kawasan daratan Kalimantan Selatan yang dikenal dengan bentuk Rumah Bubungan Tinggi itu telah hancur, selain hutan gundul karena penebangan kayu secara membabi buta, sekarang ditambang oleh pertambangan batu bara yang tak terkendali.  Bahkan fakta memperlihatkan, ternyata wilayah resapan air berupa hutan tropis basah di Pegunungan Meratus kini telah tercabik-cabik oleh pertambangan batu bara baik legal maupun ilegal yang dikelola pihak preman-preman.
Di kawasan pertambangan PT. Adaro Indonesia (kabupaten Balangan dan Tanjung), terdapat beberapa buah tandon raksasa atau kawah besar bekas tambang yang menyebabkan bumi menganga tak mungkin bisa direklamasi, akhirnya dibiarkan begitu saja.  Begitu juga di kawasan Satui dimana PT. Arutmin Indonesia  beroperasi terdapat lubang-lubang pula namun agak sedikit baik karena perusahaan ini berhasil mereklamasinya sebab tambang di sini tak dalam, tetapi telah menyebabkan alam berganti menjadi hutan buatan hasil revegetasi perusahaan tetapi telah menghilangkan hutan alam penjaga lingkungan. Kondisi paling parah terlihat pada ratusan bahkan ribuan hektare lahan bekas tambang Peti yang dikelola masyarakat baik perusahaan kecil atau individu. Lahan-lahan mereka tersebut digali, kemudian diambil batu baranya lalu bekas tambang itu dibiarkan rusak parah begitu saja tanpa adanya reklamasi seperti terlihat di berbagai wilayah. Dampak yang terasa dari lahan yang rusak demikian adalah bila hujan sedikit saja maka air di atas gunung begitu deras turun tanpa bisa ditahan, dan air yang turun bukan lagi air hujan jernih melainkan telah bercampur dengan lumpur dan debu batu bara.  Bahkan sekarang ini Sungai Martapura yang berhulu di Pegunungan Meratus yang dulunya biru telah berubah tingkat warna dan kekeruhan akibat pertikel lumpur dan material lainnya. Sampai-sampai alat pengukur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih, Kota Banjarmasin yang mengambil air sungai tersebut sebagai bahan baku tak bisa lagi mengukurnya, lantaran tingginya tingkat kekeruhan dan warna itu. Hasil sebuah penelitian begitu tingginya tingkat kekeruhan dan warna air Sungai Martapura tersebut ternyata air itu telah mengandung sejenis kaolin yakni bahan kimia yang berasal dari tambang batu bara. Bukan hanya itu tambang batu bara di Kalsel telah mengubah tingkat polusi udara dan debu di berbagai wilayah Kalsel.
Untuk itu diperlukan tanggung jawab dari semua elemen masyarakat dalam menjaga tatanan lingkungan hidup dan lingkungan sosial sehingga diharapkan akan tercipta suatu cara perspektif  yang lebih baik dalam mengelola lingkungan.
Menurut Ahyar [dkk], (2010), bahwa kerusakan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan.  Dampak lingkungan sangat terkait dengan teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan. Sementara teknologi dan teknik pertambangan tergantung pada jenis mineral yang ditambang dan kedalaman bahan tambang, misalnya pada penambangan batubara yang dilakukan dengan sistem tambang terbuka (open pit) yakni sistem dumping (cara penambangan batubara dengan mengupas permukaan tanah).  Dampak dari pertambangan batubara  sistem terbuka ini adalah penurunan sifat sifat-sifat fisik dan kimia, perubahan tofografi lahan, hilangnya vegetasi alami, berkurangnya satwa liar, selain itu juga dampak dari adanya pertambangan menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem yang besar, padahal gangguan logam berat pada lahan-lahan dapat mengubah secara mendasar masyarakat tumbuhan, sifat fisik, kimia, serta biologi tanah. Sisa-sisa bekas galian tambang menjadi lahan yang  sangat tidak subur, bahkan mengandung unsur logam (mercury) yang berbahaya bagi pertumbuhan tanaman (Subowo, 2010)     
Meningkatnya kegiatan pengusahaan batubara resmi juga berdampak pada meningkatnya kegiatan Pertambangan Tanpa lzin (PETI) batubara di Provinsi Kalimantan Selatan. Kegiatan PETI batubara di Kabupaten Banjar sebagai salah
satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan berkembang cepat seiring dengan perubahan situasi dan kondisi ekonomi politik di tanah air.  Pada tahun 1997, terdapat 157 pengusaha/perorangan yang melakukan kegiatan PETI batubara, yang meningkat menjadi 445 pengusaha/perorangan pada tahun 2000 dan tersebar di seluruh kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan (Qomariah 2003).
Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Kegiatan seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan pertanian dan pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem yang terjadi.  Akibat yang ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan), kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah. Untuk itu diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelestarian lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara merehabilitasi ekosistem yang rusak. Dengan rehabilitasi tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat pulih, mendekati atau bahkan lebih baik dibandingkan kondisi semula (Rahmawaty, 2002).
Secara garis besar, ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan daya dukung alam, diantaranya adalah kerusakan dalam (internal) dan kerusakan luar (external).  Kerusakan dalam adalah kerusakan yang disebabkan oleh alam itu sendiri. Kerusakan jenis ini sangat sulit untuk dicegah karena merupakan suatu proses alami yang sangat sulit untuk diduga, seperti letusan gunung berapi yang dapat merusak lingkungan, gempa bumi yang berakibat runtuhnya lapisan tanah yang dapat mengancam organisme hayati maupun non hayati dan lain sebagainya. Kerusakan yang bersifat dari dalam ini biasanya berlangsung sangat cepat dan pengaruh yang ditimbulkan dari adanya kerusakan ini adalah sangat lama.  Kerusakan luar (external) adalah kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam pengelolaan alam dalam usaha peningkatan kualitas hidup. Kerusakan luar ini pada umumnya disebabkan oleh aktivitas pabrik yang mengeluarkan limbah, ataupun membuka sumber daya alam tanpa memperhatikan lingkungan hidup serta tidak mempelajari segi efektivitasnya dan dampaknya terhadap lingkungan disekitarnya. Beberapa contoh penyebab kerusakan daya dukung alam yang berasal dari luar adalah pencemaran udara dari pabrik dankendaraan bermotor, pembuangan limbah pabrik yang belum diolah dulu menjadi pembuangan limbah yang bersahabat dengan alam. Karena kerusakan faktor luar ini disebabkan oleh ulah manusia, maka manusia hendaknya lebih bertanggungjawab terhadap adanya upaya untuk merusak lingkungan hidup,  Hal ini tercermin dari akibat pengelolaan lingkungan hidup yang tidak benar dan akibat pencemaran lingkungan yang ada sampai sekarang ini.
Menurut Rensi (2012) diperkirakan dalam masa 300 (tiga ratus) tahun belakangan ini telah banyak spesies yang sudah punah dari muka bumi ini, dan semakin lama akan semakin bertambah sehingga dikhawatirkan suatu saat manusia juga, akan dapat menjadi korban kepunahan. Menurut fakta ini, perlu adanya upaya penyelematan lingkungan.  Usaha seperti ini tentunya dimulai dari diri sendiri.  Setiap individu harus memberikan suatu sumbangan dan penyelamatan lingkungan demi kelestarian lingkungan.  Dengan demikian, setiap individu harus mengingatkan minimal dirinya sendiri bahwa setiap tindakan yang mencemari lingkungan, dengan menggunakan zat kimia berbahaya perlu diperhatikan terhadap pengelolaan lingkungan hidup untuk lebih baik dimasa yang akan datang. Seperti yang telah diketahui bersama, adanya kerusakan lingkungan lebih banyak dikarenakan adanya ulah manusia dan adanya faktor alam yang ada selama ini.
 
2.2. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara
a.                 a.  Pengertian Reklamasi 
Reklamasi lahan pasca tambang di Negara-negara maju diatur dalam Undang-Undang. Pelaksanaannya dikontrol sangat ketat oleh warga negara /masyarakat dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, yang dilakukan di Negara bagian Illinois USA. Pemerintah atas nama negara mengamankan sumberdaya lahan agar tidak rusak pada aktifitas eksploitasi tambang batubara terbuka.  Supervisi reklamasi lahan dilakukan oleh pemerintah daerah yang didukung dengan Undang-Undang tentang perlindungan sumberdaya lahan dengan perangkat aturan pelaksanaannya (Arnold.2001).  Demikian pula di Indonesia,  pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup diikuti tindakan berupa pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesejahteraan umum seperti tercantum dalam UUD 1945. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dan diperbarui oleh Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah payung dibidang pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar penyesuaian terhadap perubahan atas peraturan yang telah ada sebelumnya, serta menjadikannya sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh didalam suatu sistem (Rensi, 2012).
Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
Menurut Sitorus (2003)  alat strategis untuk memperbaiki kerusakan akibat penambangan sistem terbuka adalah  dengan mengembalikan sisa hasil penambangan kedalam lubang-lubang tambang, dan menanam kembali vegetasi dengan memperhatikan sisa galian (tailing) yang mengandung bahan beracun. Pada lahan pasca tambang batubara, reklamasi lahan adalah usaha / upaya menciptakan agar permukaan tanah dapat stabil, dapat menopang sendiri secara keberlanjutan (self-sustaining) dan dapat digunakan untuk berproduksi, dimulai dari hubungan antara tanah dan vegetasi, sebagai titik awal membangun ekosistem baru. Reklamasi lahan pasca tambang batubara yang dikaitkan dengan revegetasi pada dasarnya adalah untuk mengatasi berlanjutnya kerusakan lahan dan menciptakan proses pembentukan unsur hara melalui pelapukan serasah daun yang jatuh. Aktifitas tersebut diharapkan dapat secara berkelanjutan dan dapat membentuk ekosistem baru.  
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.  Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan juga diupayakan menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih tertinggal.
Prinsip lingkungan hidup yang wajib dipenuhi dalam melaksanakan reklamasi dan pasca tambang adalah :
1.   Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, tanah dan  udara2
2.   Perlindungan Keanekaragaman hayati3
3. Penjaminan stabilitas dan keamanaan timbunan batuan penutup,  kolam tailing, lahan bekas tambang dan struktur buatan lainnya4
4.   Pemanfaatan lahan bekas tambang5
5.   Memperhatikan nilainilai sosial dan budaya setempat6
6.   Perlindungan terhadap kuantitas air tanah
Kegiatan reklamasi merupakan akhir dari kegiatan pertambangan yang diharapkan dapat mengembalikan lahan kepada keadaan semula, bahkan jika memungkinkan dapat lebih baik dari kondisi sebelum penambangan. Kegiatan reklamasi meliputi pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya dan mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari reklamasi adalah untuk memperbaiki lahan bekas tambang agar kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali.
Secara teknis usaha reklamasi lahan tambang terdiri dari recontouring/ regrading/resloping lubang bekas tambang dan pembuatan saluran-saluran drainase untuk memperoleh bentuk wilayah dengan kemiringan stabil, top soil spreading agar memenuhi syarat sebagai media pertumbuhan tanaman,  untuk memperbaiki tanah sebagai media tanam, revegetasi dengan tanaman cepat tumbuh, tanaman asli lokal dan tanaman kehutanan introduksi. Perlu juga direncanakan pengembangan tanaman pangan, tanaman perkebunan dan atau tanaman hutan industri, jika perencanaan penggunaan lahan memungkinkan untuk itu (Djati, 2011).

b.      Teknologi dan langkah-langkah reklamasi
Menurut Dariah [dkk], (2010), bahwa Reklamasi lahan perlu dilakukan diantaranya untuk meningkatkan daya dukung dan daya guna bagi produksi biomassa. Penentuan jenis pemanfaatan lahan antara lain perlu didasarkan atas status kepemilikan dan kondisi bio-fisik lahan, serta kebutuhan masyarakat atau Pemda setempat. Ke depan, persyaratan pengelolaan lahan tambang tidak cukup hanya dengan study kelayakan pembukaan usaha penambangan saja, namun perlu dilengkapi juga dengan perencanaan penutupannya (planning of closure), yang mencakup perlindungan lingkungan dan penanggulangan masalah sosial-ekonomi. Hal ini perlu dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian izin penambangan.  Reklamasi lahan bekas tambang memerlukan pendekatan dan teknologi yang berbeda tergantung atas sifat gangguan yang terjadi dan juga peruntukannya (penggunaan setelah proses reklamasi). Namun secara umum, garis besar tahapan reklamasi adalah sebagai berikut:
1.      Konservasi Top Soil
Lapisan tanah paling atas atau tanah pucuk, merupakan lapisan tanah yang perlu dikonservasi, karena paling memenuhi syarat untuk dijadikan media tumbuh tanaman.  Hal ini mencerminkan bahwa proses reklamasi harus sudah mulai berjalan sejak proses penambangan dilakukan, karena konservasi tanah pucuk harus dilakukan pada awal penggalian.  Namun  banyak perusahaan tambang yang tidak mematuhi hal
ini, akibatnya harus mengangkut tanah pucuk dari luar dengan biaya tinggi, dan menimbulkan permasalahan di lokasi tanah pucuk berada. Beberapa hal yang harus diperhatikan, adalah: (a) menghindari tercampurnya subsoil yang mengandung unsur atau senyawa beracun, seperti pirit, dengan tanah pucuk, dengan cara mengenali sifat-sifat lapisan tanah sebelum penggalian dilakukan, (b) menggali tanah pucuk sampai lapisan yang memenuhi persyaratan untuk tumbuh tanaman, (c) menempatkan galian
tanah pucuk pada areal yang aman dari erosi dan penimbunan bahan galian lainnya, (d) menanam legum yang cepat tumbuh pada tumpukan tanah pucuk untuk mencegah erosi dan menjaga kesuburan tanah (Lampiran 1).

2.      Penataan Lahan
Penataan lahan dilakukan untuk memperbaiki kondisi bentang alam, antara lain dengan cara: (a) menutup lubang galian (kolong) dengan menggunakan limbah tailing (overburden).  Lubang kolong yang sangat dalam dibiarkan terbuka, untuk penampung air; (b) membuat saluran drainase untuk mengendalikan kelebihan air, (c) menata lahan agar revegetasi lebih mudah dan erosi terkendali, diantaranya dilakukan
dengan cara meratakan permukaan tanah, jika tanah sangat bergelombang penataan lahan dilakukan bersamaan dengan penerapan suatu teknik konservasi, misalnya dengan pembuatan teras, (d) menempatkan tanah pucuk agar dapat digunakan secara lebih efisien. Karena umumnya jumlah tanah pucuk terbatas, maka tanah pucuk diletakan pada areal atau jalur tanaman. Tanah pucuk dapat pula diletakkan pada lubang tanam.

3.      Pengelolaan Sedimen dan Pengendalian Erosi
Pengelolaan sedimen dilakukan dengan membuat bangunan penangkap sedimen, seperti rorak, dan di dekat outlet dibuat bangunan penangkap yang relatif besar. Cara vegetative juga merupakan metode pencegahan erosi yang dapat diterapkan pada areal bekas tambang.  Tala’ohu et al. (1995) menggunakan strip vetiver untuk pencegahan erosi pada areal bekas tambang batu bara. Vetiver merupakan pilihan yang terbukti tepat, karena selain efektif menahan erosi, tanaman ini juga relatif mudah tumbuh pada kondisi lahan buruk sehingga bertindak sebagai tanaman pioner.

4.      Penanaman Cover Crop
Penanaman cover crop (tanaman penutup) merupakan usaha untuk memulihkan kualitas tanah dan mengendalikan erosi. Oleh karena itu keberhasilan penanaman penutup tanah sangat menentukan keberhasilan reklamasi lahan pasca penambangan. Karakteristik cover crop yang dibutuhkan, sebagai berikut: mudah ditanam, cepat tumbuh dan rapat, bersimbiosis dengan bakteri atau fungi yang menguntungkan (rhizobium, frankia, azospirilum, dan mikoriza), menghasilkan biomassa yang melimpah dan mudah terdekomposisi, tidak berkompetisi dengan tanaman pokok dan tidak melilit. Pada areal bekas tambang nikel PT Inco (Ambodo, 2008) menggunakan dua jenis rumput (Echinocloa sp. dan Cynodon dactylon) serta dua jenis legum (Macroptilium bracteatum dan Chamaecrista sp.) sebagai cover crop. Selain itu juga dicampurkan tanaman legum lokal seperti Clotalaria sp., Theprosia sp., Calindra sp., dan Sesbania rostata. Dengan campuran jenis tersebut dalam waktu dua bulan setelah penanaman didapatkan penutupan lebih dari 80%. Kemampuan tanaman penutup untuk mendukung pemulihan kualitas tanah sangat tergantung pada tingkat kerusakan tanah.  Santoso [dkk], (2008).  menyatakan bahwa sebaiknya cover crop ditanam pada tahun pertama dan kedua proses reklamasi.

5.      Penanaman Tanaman Pionir
Untuk mengurangi kerentanan terhadap serangan hama dan penyakit, serta untuk lebih banyak menarik binatang penyebar benih, khususnya burung, lebih baik jika digunakan lebih dari satu jenis tanaman pionir/multikultur (Ambodo, 2008). Beberapa jenis tanaman pionir adalah : sengon buto (Enterrolobium cylocarpum),
Sengon (Paraserianthes falcataria), johar (Casia siamea), Cemara (Casuarina sp.), dan Eukaliptus pelita. Dalam waktu dua tahun kerapatan tajuk yang dibentuk tanaman-tanaman tersebut mampu mencapai 50-60% sehingga kondusif untuk melakukan restorasi jenis-jenis lokal, yang umumnya bersifat semitoleran. Tanaman pioner ditanam dengan sistem pot pada lubang berukuran lebar x panjang x dalam
sekitar 60 x 60 x 60 cm, yang diisi dengan tanah pucuk dan pupuk organik. Di beberapa lokasi, tanaman pioneer ditanam langsung setelah penataan lahan, padahal tingkat keberhasilannya relatif rendah (Puslittanak, 1995). Pada areal bekas timah,
meskipun sudah ditanam dengan sistem pot, tanaman tumbuh baik hanya pada awal
pertumbuhan, selanjutnya pertumbuhannya lambat dan beberapa diantaranya mati, karena media tanam dalam pot sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan tanaman. Santoso [dkk], (2008) menyatakan bahwa penanaman tanaman pioner sebaiknya dilakukan pada tahun ke 3-5, setelah penanaman tanaman penutup tanah.

6.      Penanggulangan Logam Berat
Pada areal yang mengandung logam berat dengan kadar di atas ambang batas diperlukan perlakuan tertentu untuk mengurangi kadar logam berat tersebut. Vegetasi penutup tanah yang digunakan untuk memantapkan timbunan buangan tambang dan membangun kandungan bahan organik, bermanfaat pula untuk mengurangi kadungan logam berat dengan menyerapnya ke dalam jaringan (Notohadiprawiro, 2006).  Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa bahan organik berkorelasi negatif dengan kelarutan logam berat di dalam tanah, karena keberadaan bahan organik tanah meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah (Salam [dkk]. dalam Haryono dan Soemono, 2009). Hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan organik dikombinasikan dengan pencucian dapat menurunkan kandungan logam mercuri (Hg) dalam tanah sampai 84%. Pada areal dengan kandungan logam berat tinggi sebaiknya jangan dulu dilakukan penanaman komoditas yang dikonsumsi. Perlu dipilih jenis tanaman yang toleran terhadap logam berat, misalnya di Ameria Serikat ditemukan jenis tanaman pohon hutan, diantaranya Betula spp. dan Salix spp. yang dapat bertahan hidup di areal bekas tambang yang mengandung Pb sampai 30.000 mg/kg dan Zn sampai 100.000 mg/kg. Kemampuan ini ternyata dibangkitkan oleh asosiasi pohon dengan mikoriza (Notohadiprawiro, 2006).  Perlu diidentifikasi tanaman-tanaman lain yang toleran terhadap logam berat yang dapat tumbuh baik di wilayah tropis seperti Indonesia. Selain dalam tanah penanggulangan pencemaran logam berat dalam air juga harus dilakukan, tanaman eceng gondok dapat digunakan untuk membersihkan badan air dari logam berat (Notohadiprawiro, 2006). Penanganan logam berat dengan mikroorganisme atau mikrobia (dalam istilah biologi disebut dengan bioakumulsi, bioremediasi, atau bioremoval), menjadi alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi keracuan elemen logam berat di lingkungan perairan (Mursyidin, 2006).
            Menurut Latifah (2003) mengatakan bahwa Penambangan dapat mengubah lingkungan fisik, kimia dan biologi seperti : bentuk lahan dan kondisi tanah, kualitas dan aliran air, debu, getaran, pola vegetasi dan habitat fauna, dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini harus dikelola untuk menghindari dampak lingkungan yang merugikan seperti erosi, sedimentasi, drainase yang buruk, masuknya gulma/hama/penyakit tanaman, pencemaran air permukaan/air tanah oleh bahan beracun dan lain-lain.
Sasaran Reklamasi Dalam kegiatan reklamasi terdiri dari dua Kegiatan yaitu :
1.      Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya.
2.      Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatannya selanjutnya.
Untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang diperlukan perencanaan
yang baik agar dalam pelaksanaannya dapat tercapai sasaran sesuai yang dikehendaki.
Hal-hal yang harus diperhatikan didalam perencanaan reklamasi adalah sebagai berikut :
1.      Mempersiapkan rencana reklamasi sebelum pelaksanaan penambangan
2.      Luas areal yang direklamasikan sama dengan luas areal penambangan.
3.      Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan revegetasi.
4.      Mengembalikan/memperbaiki pola drainase alam yang rusak
5.      Menghilangkan/memperkecil kandungan (kadar) bahan beracun sampai tingkat yang aman sebelum dapat dibuang ke suatu tempat pembuangan.
6.      Mengembalikan lahan seperti keadaan semula dan/atau sesuai dengan tujuan penggunaannya.
7.      Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi.
8.      Memindahkan semua peralatan yang tidak digunakan lagi dalam aktifitas penambangan.
9.      Permukaan yang padat harus digemburkan namun bila tidak memungkinkan agar ditanami dengan tanaman pionir yang akarnya mampu menembus tanah yang keras.
10.  Setelah penambangan maka pada lahan bekas tambang yang diperuntukkan bagi revegetasi, segera dilakukan penanaman kembali dengan jenis tanaman yang sesuai dengan rencana rehabilitasi dari Departemen Kehutanan dan RKL yang dibuat.
11.  Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya.
12.  Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Setiap lokasi pertambangan mempunyai kondisi tertentu yang mempengaruhi
pelaksanaan reklamasi.  Pelaksanaan reklamasi umumnya merupakan gabungan dari pekerjaan teknik sipil dan teknik re vegetasi.  Pelaksanaan reklamasi meliputi kegiatan sebagai berikut :
1.      Persiapan lahan yang berupa pengamanan lahan bekas tambang, pengaturan bentuk lahan (“landscaping”), pengaturan/penempatan bahan tambang kadar rendah (“lowgrade”) yang belum dimanfaatkan.
2.      Pengendalian erosi dan sidementasi
3.      Pengelolaan tanah pucuk (“top soil”).
4.      Revegetasi (penanaman kembali) dan/atau pemanfaatan lahan bekas tambang untuk tujuan lainnya.

2.3. Kendala Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara
Lahan pasca tambang batubara terbuka pada umumnya mengalami perubahan karakteristik dari aslinya. Apabila tidak dikelola dengan baik akan menjadi lahan kritis.
Ditinjau dari faktor penyebabnya lahan pasca tambang batubara yang termasuk kategori lahan kritis secara fisik, kimia dan secara hidro-orologis, dapat diuraikan sebagai berikut : secara fisik, lahan telah mengalami kerusakan, ciri yang menonjol dan dapat dilihat di lapangan, adalah kedalaman efektip tanah sangat dangkal.  Terdapat berbagai lapisan penghambat pertumbuhan tanaman seperti pasir, kerikil, lapisan sisa-sisa tailing dan pada kondisi yang parah dapat pula terlihat lapisan cadas. Bentuk permukaan tanah biasanya secara topografis sangat ekstrem, yaitu antara permukaan tanah yang berkontur dengan nilai rendah dan berkontur dengan nilai tinggi pada jarak pendek bedanya sangat menonjol, Dengan kata lain terdapat perbedaan kemiringan tanah yang sangat mencolok pada jarak pendek. Secara kimia, lahan tidak dapat lagi memberikan dukungan positif terhadap penyediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Secara hidro-orologis, lahan pasca tambang tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagai pengatur tata air. Hal ini terjadi karena terganggunya kemampuan lahan untuk menahan, menyerap air dan menyimpan air, karena tidak ada vegetasi atau tanaman penutup lahan. (Sitorus,2003).
Aktifitas eksploitasi batubara yang dilakukan oleh penambang yang tidak resmi (illegal mining) tidak pernah melakukan rehabilitasi lahan. Permasalahan rehabilitasi lahan pasca penambangan, menurut  Lubis (1997) adalah hal yang paling rumit, karena disamping menyangkut masalah biaya, waktu juga diperlukan keahlian khusus. Hal ini terkait dengan bagaimana melakukan reklamasi lahan sekaligus sebagai media tumbuh vegetasi agar tercipta kelestarian lingkungan alam tetap terjaga.
Menurut David (2013) Masalah reklamasi atau pengembalian fungsi awal lahan yang telah digunakan sektor pertambangan belum satu suara.  Kementerian Kehutanan meminta agar pengembalian fungsi lahan yang telah digunakan sektor pertambangan harus dihijaukan dengan cara menanam pepohonan. Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai upaya reklamasi bisa dialihkan dengan membuat danau pasca eksplorasi tambang. 
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM), proses reklamasi yang diharapkan Kementrian Kehutanan selama ini mengharuskan lahan tambang perlu dihijaukan dengan ditumbuhi pepohonan setelah eksploitasi,  padahal  aspek tersebut bisa dialihkan dengan membuat aksi lain sehingga lahan bekas tambang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. 
Kajian ini dapat didiskusikan bersama antara Kementrian ESDM dengan Kemenhut. Pihaknya ingin kegiatan sektor tambang tetap meningkat seiring implementasi proses hilirisasi karena itu upaya yang justru menambah beban biaya di sektor ini perlu diperhatikan. "Mereka itu kan ingin tetap ada profitnya. Kalau mereka tidak ada penerimaan negara juga nihil. Setidaknya kita harus sama-sama untung," .
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Kehutanan dan Perkebunan Nomor 146 tahun 1999; reklamasi bekas tambang perlu dilakukan guna memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalarn kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
Sementara itu, Ketua Umum Forum Rehabilitasi Hutan pada Lahan Bekas Tambang, menyebutkan bahwa  reklamasi lahan bekas tambang tidak hanya sekedar dihijaukan namun harus memiliki nilai tambah dan memberikan manfaat kepada berbagai stokeholder di lingkungan bekas tambang tersebut. "Usaha pertambangan memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung perekonomian nasional, serta dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada masyarakat”, Maka dari itu,  pertambangan harus dilakukan sesuai dengan prosedur dan diawasi oleh orang yang ahli lingkungan yang menyangkut pertambangan. Hal ini dilakukan agar lingkungan juga bisa dinikmati oleh anak cucu di masa mendatang.
Deputi Bidang Pengendalian Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup  mengatakan bahwa , program reklamasi lahan bekas tambang tidak lagi harus mengembalikan fungsi lahan sebagai hutan. "Bekas tambang itu dapat dijadikan kawasan hutan, terutama kalau memang asalnya hutan. Tapi seiring dengan perkembangan kawasan itu, bekas tambang dapat juga dijadikan perkebunan, kolam budidaya ikan, pertanian palawija, irigasi, air baku, atau taman wisata air," paparnya.
Berdasarkan definisi Peraturan Menteri ESDM, reklamasi adalah kegiatan perusahaan yang bertujuan memperbaiki atau menata lahan yang terganggu agar dapat berfungsi dan berguna kembali sesuai peruntukannya.  Secara umum kegiatan pertambangan seperti tambang batubara dapat memberikan keuntungan ekonomis namun juga dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem tanah.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan dengan pertambangan terbuka, akan menimbulkan tumpukan bahan non-batubara. Tanah sisa galian pertambangan batubara terdiri dari sisa batubara (batubara muda) dan batuan-batuan seperti batu liat (clay stone), batu lanau (silt stone), batu pasir (sand stone) atau tufa vulkan (Tala’ohu [dkk], 1995).
Tanah galian batubara umumnya tersusun terbalik dari susunan awalnya. Tanah lapisan atas (top soil) berada di bawah tanah lapisan bawah (sub soil). Umumnya bahan-bahan ini ditumpuk diatas tanah-tanah yang produktif sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan produktivitas tanah.
Umumnya areal bekas timbunan batubara ini dalam beberapa tahun pertama sulit ditumbuhi vegetasi karena berbagai macam kendala.
Beberapa kendala fisik yang dihadapi dalam upaya reklamasi tanah bekas penambangan batubara yakni: tanah terlalu padat, struktur tanah tidak mantap, aerasi dan drainase tanah jelek, serta lambat meresapkan air. Selain itu kendala kimia seperti pH sangat masam, tingginya kadar garam, dan rendahnya tingkat kesuburan tanah merupakan pembatas utama dalam mereklamasi area tanah timbunan. Konsekuensinya diperlukan input yang relatif besar (seperti: pupuk buatan dan pupuk organik, berbagai senyawa senyawa kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit, sarana dan prasarana untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman) untuk memperbaiki kualitas atau menyehatkan ekosistem tanah agar dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Kegiatan pascapenambangan berupa kegiatan reklamasi yang terencana sejak
sebelum penambangan dapat memiliki banyak kendala yaitu (1) curah hujan tinggi yang mengakibatkan hambatan daerah penyiapan untuk reklamasi, (2) potensi terjadinya erosi permukaan yang mempengaruhi kestabilan daerah timbunan, (3) kondisi lapisan tanah yang masam dan tingkat hara yang rendah (umumnya di Kalimantan) dan (4) keterbatasan material overburden NAF (Non Acid Forming). penggunaan alat berat dalam kegiatan penambangan dapat mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga menurunkan porositas, permeabilitas dan kapasitas penahan air tanah. masalah yang dijumpai dalam mereklamasi lahan bekas tambang adalah masalah fisik, kimia (berupa nutrisi maupun keracuanan hara) dan biologi. Kegiatan pertambangan mempengaruhi solum tanah dan terjadinya pemadatan tanah, mempengaruhi stabilitas tanah dan bentuk lahan.
Kegiatan pertambangan dan kegiatan reklamasi harus terencana dengan baik agar dalam pelaksanaanya tercapai sasaran yang diinginkan atau sesuai tata ruang yang telah direncanakan. Pada proses akhir penambangan batasan tanah secara alamiah sudah tidak jelas lagi karena dalam proses penimbunan kembali tidak dapat dibedakan hubungan genetis antara bahan induk, overburden dan top soil. Lahan bekas penambangan umumnya mengalami dampak penurunan kesuburan tanah, khususnya kandungan bahan organik tanah. 

2.4. Alternatif Solusi yang Ditawarkan.
Pemerintah gencar menggali potensi perolehan devisa dari sektor pertambangan sebagai akibat semakin terbatasnya kemampuan negara untuk memperoleh pendapatan dari sektor lainnya. Deposit bahan galian (bahan mineral, batubara, bahan fosil, dan lain-lain) banyak tersebar diberbagai daerah dengan berbagai jenis dan kapasitas, potensial untuk dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menopang kebutuhan negara. Hal ini penting karena Indonesia berada di kawasan vulkanik tropika basah dengan zone penunjaman (subduction zone) yang membujur di pantai barat, pantai selatan dan pantai utara bagian timur, sehingga memiliki erupsi indeks  99% (Munir, 1996). Laju pasokan mineral berlangsung intensif, sehingga Indonesia banyak memiliki deposit mineral bahan tambang. Di lain pihak laju pelapukan mineral juga berlangsung intensif, sehingga apabila tidak segera ditambang/ dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, deposit bahan mineral ini akan cepat mengalami pelapukan/kerusakan dan apabila dibiarkan akan hilang terbawa aliran air yang dapat mencemari lingkungan (Subowo, 2012).
Kegiatan pertambangan bahan galian berharga dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama.  Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar pengolahan relative  tidak berubah, yang berubah adalah skala kegiatannya.  Mekanisasi peralatan pertambangan telah menyebabkan skala pertambangan semakin membesar.   Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan semakin dalam mencapai lapisan bumi jauh di bawah permukaan (Sabtanto, 2010).
Simarmata (2005) menyebutkan salah satu strategi dan upaya yang ramah lingkungan untuk mengembalikan vitalitas (kualitas dan kesehatan) tanah adalah dengan sistem pertanian ekologis terpadu. Pengembangan pertanian ekologis ini didukung dengan kemajuan dalam bidang bioteknologi tanah yang ramah lingkungan, yaitu pemanfaatan pupuk hayati (biofertilizers). Pupuk hayati memberikan alternatif yang tepat untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah dan mempertahankan kualitas tersebut sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan menaikkan hasil maupun kualitas dari berbagai tanaman secara signifikan.
Pupuk hayati yang sering digunakan dalam rehabilitasi lahan bekas pertambangan adalah mikoriza. Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualisme antara jamur dan akar tanaman tingkat tinggi. Dimana jamur mendapatkan keuntungan dari suplai karbon (C) dan zat-zat essensial dari tanaman inang dan tanaman inang mendapatkan berbagai nutrisi, air, dan proteksi biologis (Turjaman [dkk], 2005).
Penggunaan mikoriza telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman kehutanan (revegetasi) pada lahan bekas pertambangan maupun lahan kritis secara signifikan. Selain itu mikoriza juga memiliki peranan yang sangat penting untuk melindungi tanaman dari serangan patogen, dan kondisi tanah dan lingkungan yang kurang kondusif seperti: pH rendah, stress air, temperatur ekstrim, salinitas yang tinggi, dan tercemar logam berat (Setiadi, 2004).
Hasil berbagai penelitian pada lahan marjinal di Indonesia menunjukkan bahwa aplikasi pupuk biologis seperti mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan berbagai tanaman (Jagung, Kedelai, Kacang Tanah, Tomat, Padi, dan tanaman lainnya) dan ketersediaan hara bagi tanaman antara 20 hingga 100% (Simarmata dan Herdiani, 2004). Tanaman jagung sendiri merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dijadikan objek dalam penelitian mengenai mikoriza.  Berdasarkan hasil penelitian Margaretha (2010)  diperoleh hasil Pemberian mikoriza dapat mempengaruhi kolonisasi mikoriza pada rhizosfer, derajat infeksi akar, C-organik, P tersedia dan tinggi tanaman , namun belum berpengaruh terhadap pH tanah, N-total tanah, dan berat kering tanaman.  Pemberian mikoriza pada takaran 200 g pot-1 memberikan pengaruh tertinggi terhadap derajat infeksi akar, dan perlakuan 100 g pot-1 memberikan pengaruh tertinggi terhadap kolonisasi mikoriza di rhizosfer tanaman jagung manis.
Menurut Mursyidin (2009) menyimpulkan bahwa Upaya perbaikan lahan bekas tambang merupakan hal yang sangat mendesak dilakukan. Hal ini karena sistem perbaikan (reklamasi) lahan yang sudah ada masih dilaksanakan secara konvensional, yaitu dengan menanami areal bekas tambang tersebut dengan tumbuhan. Upaya perbaikan dengan cara ini dirasakan kurang efektif, hal ini karena tanaman secara umum kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan ekstrim, termasuk bekas lahan tambang. Teknologi alternatif perbaikan lahan bekas tambang menggunakan mikroorganisme terutama jamur (fungi) merupakan hal yang sangat menarik dan penting dilakukan. Hal ini karena jamur memiliki keistimewaan, selain adaptif terhadap berbagai kondisi tanah juga kemampuannya dalam menguraikan bahan organik dan membantu proses mineralisasi di dalam tanah.
            Sebagai bahan pembanding reklamasi yang dilakukan oleh P.T. Adaro Indonesia sebagai berikut :
1.      Pengelolaan Top Soil
Menggunakan peralatan seperti dozer, excavator dan dump truck
2.      Revegetasi
Penanaman secara manual dan menggunakan metode hydroseeding dengan alat hydroseeder
3.      Pengendalian erosi
Menggunakan peralatan seperti dozer, excavator, dump truck.
Hasil pelaksanaan reklamasi yang dilakukan oleh PT. Adaro Indonesia adalah sebagai berikut :
1.      Tanaman reklamasi sustain (berkelanjutan)
2.      Erosi di area reklamasi semakin kecil dan kualitas air yang dihasilkan semakin baik
3.      Keanekaragaman hayati yang semakin membaik
Luasan lahan yang telah di reklamasi di dua wilayah yakni ; Paringin dan Tutupan seluas  In pit 146,3 Ha, Out pit 1.533,12 Ha dan lain-lain seluar 21,36 Ha (Agus [dkk], 2012). Jelasnya dapat dilihat pada lampiran 2.



















BAB III. KESIMPULAN

Di Indonesia sektor pertambangan dapat dikatakan sebagai motor penggerak perekonomian nasional, karena   kontribusi pertambangan untuk pembangunan regional cukup besar,  pertambangan merupakan opsi menarik untuk optimalisasi penggunaan lahan, menambah lapangan kerja, memenuhi kebutuhan dalam negeri dan penerimaan Negara, namun demikian dampak yang ditimbulkan akibat penambangan batubara akan menimbulkan ketidak seimbangan ekologi `atau  ekosistem, hal ini akan menyebabkan kerusakan lingkungan, krisis lingkungan, konflik sosial  dan lain sebagainya.   
Reklamasi sebagai usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya, sehingga reklamasi mutlak harus dilakukan mengingat saat ini banyak masalah atau musibah yang muncul sebagai akibat dari lahan pasca tambang yang dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya untuk reklamasi, seperti ; bencana banjir, pencemaran lingkungan, sedimentasi  daerah aliran sungai, konflik sosial, hilangnya lahan-lahan produktif,  sulitnya pada daerah pertambangan mendapatkan air bersih dan lain sebagainya, hal ini apabila dibiarkan begitu saja, maka akan menjadi ancaman baru terhadap kehidupan diatas muka bumi ini.
            Pada umumnya reklamasi yang dilakukan oleh para perusahaan pertambangan saat ini ditemukan beberapa kendala diantaranya, memerlukan biaya yang sangat besar dan teknologi modern, sehingga sanggup melakukan hal ini hanya perusahaan besar saja dan  luasan yang reklamasi hanya sebagian kecil saja, apakah sebanding antara lahan yang rusak dengan yang direklamasi, dan nampaknya kegiatan reklamasi dilakukan tidak serius, terkesan tanam buang karena terkendala oleh iklim.
              Sementara itu ada alternatif  yang ditawarkan dalam rangka reklamasi lahan bekas tambang batubara dengan konsep tidak memerlukan biaya yang besar dan jangkauan reklamasi lebih luas, mudah dan murah ; yakni dengan konsep kembali kealam atau reklamasi lahan bekas tambang batubara secara hayati.  















DAFTAR PUSTAKA

Agus Subandrio, Sukarman, dan Ronny, P. Tambunan. 2012 Pelaksanaan Reklamasi di PT Adaro Indonesia . Environmental Department PT Adaro Indonesia. Environmental Department PT Adaro Indonesia. email : agussubandrio @ptadaro. com, sukarman@ptadaro.com, ronny@ptadaro.com

Ahyar Gunawan1*, I Nengah Surati Jaya2, dan Muhammad Buce Saleh2. Teknik Cepat Identifikasi Lahan Terbuka Melalui Citra Multi Temporal dan Multi Spasial Quick Tecniques in Indentifying Open Area by the Use of Multi Spatial and Multidate Imageries. JMHT Vol. XVI, (2): 63–72, Agustus 2010 Artikel Ilmiah ISSN: 2087-0469.

Ambodo, A.P. 2004. Aplikasi Mikoriza untuk Peningkatan Pertumbuhan Tanaman dan efisiensi Biaya pada Lahan Pasca Tambang di PT. International Nickel Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Rapat Koordinasi serta Fasilitasi Nasional, Penerapan Bioremediasi untuk Reklamasi dan Rehabilitasi lahan Bekas Tambang di Kawasan Timur Indonesia, 5 April 2004, Jakarta.
Arif, I., 2007. Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan Lingkungan Dunia Pertambangan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Arnold,B.H.2001. The Evaluation of Reclamation Derelict Land and Ecosistems.
            Journal Land Rehabilitation and Restoration Ecology.7(2):35-54, Massachusetts. USA.

Bramas. 2012. Pendugaan Kandungan Karbon Pada Tegakan Akasia (Acacia mangium) dan Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) Di Lahan Reklamasi Pasca Tambang Batubara Arutmin Batulicin, Kalimantan Selatan.

Dariah.,A1, A. Abdurachman1, dan D. Subardja2. 2010. Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian. Reclamation of Ex-Mining Land for Agricultural Extensification. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010. ISSN 1907-0799.

David.,D (2013). Reklamasi Tambang. Neraca.  www.ima-api.com/index. php.723%3 Thursday, 07 February 2013 08:19 David Dwiarto. E-mail Print PDF. JAKARTA. Masalah reklamasi atau pengembalian fungsi awal lahan yang telah digunakan. Thursday, 07 February 2013 08:19.
Djati Murjanto. 2011. Karekterisasi dan Perkembangan Tanah Pada Lahan Reklamasi Bekas Tambang Batubara PT. Kaltim Prima Coal. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Haryono dan S. Soemono. 2009. Rehabilitasi tanah tercemar mercuri (Hg) akibat penambangan emas dengan pencucian dan bahan organik di rumah kaca. Jurnal Tanah dan Iklim.

Hasan Zainuddin.2007. Tambang Batubara Sembahkan Surga Atau Neraka. hasanzainuddin.wordpress.com/2007/11/03/43/‎3 Nov 2007 –, 25/1 (ANTARA).
Karwan, 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta
Latifah.,S. 2003. Kegiatan Reklamasi Lahan Pada Bekas Tambang Program Ilmu Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan. Universitas Sumatera Utara.

Lubis, M.1997. The Development of Indonesia’s Coal Supply Industry Trade and
Investment Issues. Paper Presented at APEC Coal Trade and Investment Liberalization and Facilitation Workshop, August 5, Jakarta.

Margarettha. 2010. Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara Dengan Pupuk Hayati Mikoriza Sebagai Media Tanam Jagung Manis The Used of Ex-Coal Mining Soil With Mycorrhiza Biofertilizers To Growth Sweet Corn. J. Hidrolitan., Vol 1 : 3 : 1 – 10, 2010. ISSN 2086 – 4825

Matthew L. Carlson1, Lindsey A. Flagstad1, Franc¸ ois Gillet2,3 and Edward A. D. Mitchell3,4,5*Community development along a proglacial chronosequence: are above-ground and below-ground community structure controlled more by biotic than abiotic factors. Journal of Ecology 2010, 98, 1084–1095.  British Ecological Society.

Munir. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya, Jakarta.

Mursyidin, D.H. 2006. Menanggulangi Pencemaran Logam Berat. Biologi FMIPA
Unlam, Banjar Baru. Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia.

_____________. 2009.Memperbaiki Lahan Bekas Tambang dengan Mikroorganisme. Biologi FMIPA Unlam, Banjar Baru. Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia.



Notohadiprawiro,T.1999.Tanah dan Lingkungan. Diterbitkan oleh Dit-Jen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,Jakarta.

________________. 2006. Pengelolaan Lahan dan   Pasca Penambangan, Departemen Ilmu Tanah, Universitas Gajah Mada.

Peacock.,K.W. 2008. Natural Resources and Sustainable Development Foreword by Jeremy Carl Research Fellow,Program on Energi and Sustainable Development Stanford University.

Puslitanak. 1995. Studi Upaya Rehabilitasi Lingkungan Penambangan Timah (Laporan Akhir Penelitian). Kerjasama antara Proyek Pengembangan Penataan Lingkungan Hidup dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Qomariah R. 2003. Dampak kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) batubara terhadap kualitas sumberdaya lahan dan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. JMHT Vol. XVI, (2): 63–72, Agustus 2010 Artikel Ilmiah ISSN: 2087-046972
Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Rensi Febreni. 2012 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Pengelolaan Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan.  March 22, 2012.
Sabtanto Joko Suprapto.2010. Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan Aspek Konservasi Bahan Galian.  Kelompok Program Penelitian Konservasi – Pusat Sumber Daya Geologi.

Santoso, E., Pratiwi, M. Turjaman, C.H. Siregar, A. Subiakto, R.S.B. Irianto, R.R. Sitepu, dan Anwar. 2008. Input teknologi untuk rehabilitasi lahan pasca penutupan tambang (mine closure). Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang. LPPM-IPB. Bogor, 22 Mei 2008.

Setiadi, Y. 2004. Arbuscular Mycorrhizal Inoculum Production. Dalam prosiding Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Asosiasi Mikoriza Indonesia-Jawa Barat. Bandung.



Simarmata,T. 2005. Revitalisasi Kesehatan Ekosistem Lahan Kritis dengan Memanfaatkan Pupuk Biologis Mikoriza dalam Percepatan Pengembangan Pertanian Ekologis di Indonesia. Seminar Nasional dan Workshop Cendawan Mikoriza. Universitas Jambi. Jambi.

Sitorus, M. 2003. Pengaruh Pemberian Batu Fosfat Alam dan Mikoriza Vesikular Arbuskular Terhadap Ketersediaan dan Konsentrasi P daun Jagung pada Ultisol. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Jambi.

Sitorus, S.R.P. 1998 . Evaluasi Sumberdaya Lahan, Penerbit Tarsito, Bandung.

Sitorus, S.R.P., E. Kusumastuti, dan L. Nurbaeti Badri. 2008. Karakteristik dan teknik rehabilitasi lahan pasca penambangan timah. Jurnal Tanah dan Iklim (27):57- 74.

Soemarno., W. S. 2006. Pertambangan Sebagai Aset Bangsa Indonesia. Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 2 No. 4 Desember 2006.

Soemarwoto., O. 1992. Peranan hutan tropik dalam hidro-orologi, pemanasan global dan keanekaan hayati. Di dalam Lubis Mochtar, editor. MelestarikanHutan Tropika: Permasalahan, manfaat dan kebijakannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Subowo G. 2010. Penambangan Sistem Terbuka Ramah Lingkungan dan Upaya Reklamasi Pasca Tambang Untuk Meperbaiki Kualitas Sumberdaya Lahan dan Hayati Tanah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 5 No. 2, Desember 2011. ISSN 1907-0799

Tala’ohu, S.H., S. Moersidi, Sukristiyonubowo, dan S. Gunawan. 1995. Sifat fisikokimia tanah timbunan batubara (PT BA) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.  Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Buku IV. Bidang Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat. Puslitbangtanak. http://agribisnis.deptan.go.id /download/ layanan_informasi/sekretariat/jurnal_sumberdaya_lahan_vol._4_no.1_juli_2010.pdf.  ISSN 1907-0799
Turjaman, Maman., Yana Sumarba. Winarto. Erdy Santoso. 2005. Prospek Aplikasi Teknologi Cendawan Ektomikoriza (ECM) untuk Mempercepat Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tergredasi. Seminar Nasional dan Workshop Cendawan Mikoriza. Universitas Jambi. Jambi.
Reklamasi lahan bekas tambang batubara 4.5 5 Unknown Wednesday 28 January 2015 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kualitas hidup manusia,   tel...


2 comments:

  1. SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259

    ReplyDelete