BAB
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan
kualitas hidup manusia, telah dimulai
sejak adanya kehidupan diatas
dipermukaan bumi ini ; dimana menurut
Karwan (2003) mengatakan bahwa dasar dari kehidupan diatas bumi adalah
tanah, dan manusia menempati kedudukan yang paling tinggi. Manusia
sebagai makhluk hidup selalu berinteraksi dengan lingkungannya, adanya
interaksi antara manusia dan lingkungannya, mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi atau ekosistem
seperti ; kerusakan lahan, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya, keadaan ini makin diperbesar dengan adanya
penggalian, penambangan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara tidak terkendali
untuk memenuhi kebutuhan dan menunjang kehidupan manusia.
Menurut Mathew [dkk], (2010), kita perlu menyadari bahwa adanya
interaksi dan perkembangan teknologi serta budaya yang ada dalam kehidupan manusia, merupakan
suatu tantangan dan akan menimbulkan berbagai macam permasalahan dalam ekologi.
Tingkat peradaban manusia yang semakin hari semakin berkembang membuat kita
senantiasa berurusan dengan lingkungan yang semakin hari semakin sulit untuk
dihindari. Perkembangan lingkungan yang semakin tercemar memungkinkan
terjadinya suatu krisis terhadap lingkungan hidup dan lingkungan sosial. Tantangan ini berlaku terutama di
negara-negara yang sedang membangun karena adanya berbagai aktivitas
pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan umat manusia yang sering
pula membawa dampak terhadap perubahan lingkungan (Rensi, 2012).
1.2. Identifikasi Masalah
Sampai saat ini Negara-negara didunia ini termasuk
Indonesia, sebagai Negara yang sedang
berkembang dalam kegiatan pembangunan nasional masih memerlukan energi,
yang berasal dari sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (Non Renewable resources) seperti ;
batubara, minyak dan gas. Menurut Peacock (2008) mengatakan bahwa ; batubara tidak
ideal sebagai sumber energi, Karena
(1) Tidak
efisien, dan dalam proses pembakaran batu bara, hampir 2/3 dari energi yang
dikeluarkan dal;am bentuk asap, hanya 1/3 yang dapat dipergunakan menjadi energi listrik. (2)
batubara melepaskan sejumlah besar karbon
dioksida dan gas metana, efek rumah kaca berpengaruh, ke atmosfer, (3) pertambangan adalah bisnis berbahaya. Para
penambang sering mati bawah tanah, dan mereka mengalami penyakit paru-paru
yang akut. Selain
itu, strip tambang
melenyapkan top soil, pasokan racun
air di dekatnya, dan mengubah ekosistem hidup menjadi
tanah yang
ditelantarkan dan pada akhirnya menjadi lahan tidur (Sleeping
Land), khususnya di negara-negara berkembang pengelolaannya
tidak diatur.
Menurut Bramas (2012) bahwa Perubahan iklim
merupakan fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan
energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan perindustrian. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah
Kaca (GRK) terutama karbondioksida (CO2) yang memiliki kontribusi terbesar pada
peningkatan suhu permukaan bumi. Hal inilah yang memicu tuduhan bahwa kerusakan
yang terjadi pada hutan tropik telah menyebabkan pemanasan global (Soemarwoto
1992).
Masalah-masalah lingkungan hidup dapat menjadi bencana yang bisa
mempengaruhi kualitas hidup manusia. Tanda-tanda masalah lingkungan hidup
seperti adanya polusi, global warming, fotokimia kabut, hujan asam,
erosi, banjir, instrusi dan lain sebagainya sudah mulai terlihat sejak
pertengahan abad ke -20. Masalah-masalah mengenai kerusakan lingkungan tentunya
harus mulai lebih diperhatikan dalam rangka memberikan suatu pemahaman yang
baru agar dapat memberikan suatu cara pandang yang mengedepankan adanya suatu
upaya perlindungan terhadap lingkungan sehingga secara tidak langsung dapat
memberikan suatu konstribusi dalam menghindari bahaya ikutan yang lebih parah
terhadap perkembangan manusia dan makhluk hidup yang selama ini mendiami bumi
maupun terhadap kelestarian lingkungan hidup (Rensi 2012).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas adanya pertambangan batubara yang tidak sesuai dengan
kaedah-kaedah yang berlaku, akan
menimbulkan dan memperparah kerusakan lingkungan yang akan
berdampak pada tatanan kehidupan manusia terutama sosial ekonomi masyarakat dan
yang lebih jauh lagi adalah tidak terjaminnya kualitas kehidupan manusia, hal
ini merupakan ancaman baru bagi
kehidupan manusia diatas permukaan bumi ini. Dalam rangka mempertahankan kelestarian
lingkungan dan pembangunan berlanjutan maka perlu adanya reklamasi lahan bekas
tambang batubara tersebut.
1.3.
Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
1. Untuk
mengetahui dampak penambangan batubara
2. Untuk
mengetahui pentingnya reklamasi lahan
bekas tambang batubara
3. Untuk
Mengetahui solusi /alternatif reklamasi lahan bekas tambang batubara
b.
Manfaat
1.
Mendukung/menunjang
pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
2.
Sebagai
alternatif mengatasi kerusakan lingkungan
BAB II. TEORI REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG
BATUBARA
2.1. Dampak Pertambangan Batubara
Sumber Daya Alam (SDA) yang meliputi
vegetasi, tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan
salah satu modal dasar dalam pembangunan Nasional oleh karena itu harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan kepentingan
pembangunan nasional dengan memperhatikan kelestariannya.
Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan
sumberdaya alam adalah kegiatan
pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan salah
satu sektor penyumbang devisa negara
yang terbesar. Menurut Soemarno (2006)
bahwa keberadaan pertambangan secara signifikan menjadi sektor yang
sangat strategis dan sentral dalam kerangka pembangunan nasional. Namun demikian kegiatan pertambangan apabila tidak dilaksanakan
secara tepat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama gangguan
keseimbangan permukaan tanah yang cukup besar.
Dampak lingkungan kegiatan pertambangan
antara lain : penurunan produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi
dan sedimentasi, terjadinya
gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna,
terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk, serta perubahan iklim mikro.
Dampak negatif kegiatan pertambangan
terhadap lingkungan tersebut perlu
dikendalikan untuk mencegah kerusakan di luar batas kewajaran. Salah
satu upaya meminimalisir kerusakan tersebut adalah dengan melakukan
reklamasi. Prinsip kegiatan Reklamasi
adalah : (1) kegiatan Reklamasi harus dianggap sebagai kesatuan yang utuh dari
kegiatan penambangan (2) kegiatan Reklamasi harus dilakukan sedini mungkin dan
tidak harus menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan (Latifah,
2003).
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta tumbuhnya industri yang begitu pesat, tentunya
dirasakan pengaruhnya baik itu yang menyangkut dampak positif maupun dampak negatifnya. Dampak positifnya tentunya terjadinya
peningkatan mutu dan kualitas hidup yang lebih komplek dengan ditandai dengan
adanya kesenangan dan impian manusia yang menjadi lebih mudah untuk diwujudkan
dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai contoh, pertambangan batubara di
Kalimantan Selatan, perusahaan skala
besar yang mengelola tambang batu bara di Kalimantan Selatan berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pengembangan
Pertambangan Batu Bara (PKP2B) ada beberapa buah diantaranya PT. Adaro
Indonesia, PT. Arutmin Indonesia, PT. Bantala Coal Mining, dan beberapa lagi. Sementara
perusahaan kecil melalui Izin Usaha Pertambangan
(IUP) yang
diberikan oleh kabupaten/kota menyusul adanya era otonomi daerah yang jumlah
perizinnanya ratusan buah,
belum termasuk ratusan perusahaan penambangan tanpa ijin
(Peti) yang dilakukan secara kelompok atau perorangan yang sangat menyemarakkan
usaha pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan tersebut. Merebaknya
tambang batu bara di “bumi Pangeran Antasari” tersebut menimbulkan gairah di
bidang ekonomi, dimana devisa terus saja mengalir dari hasil ekspor tambang itu
dengan tujuan berbagai negara di dunia.
Catatan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan (Disperindag) Kalimantan
Selatan tahun 2007, sekitar 60 persen nilai ekspor non migas asal
propinsi ini atau sekitar
1,5 miliar Dolar AS per tahun berasal dari ekspor tambang batubara, bukan saja untuk ekspor, ternyata hasil tambang batubara
tersebut kini diperebutkan pula untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)
milik PT. PLN (Persero) seperti PLTU Suryalaya Jawa Barat, PLTU Paiton Jawa
Timur, dan PLTU Asam-Asam Kalimantan
Selatan sendiri, disamping untuk kebutuhan industri
lainnya di tanah air.
Oleh sebab itu,
banyak kalangan yang telah mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup
mereka secara meteriil setelah memperoleh porsi dari mengelola tambang batu
bara tersebut.
Tak heran apabila dalam suatu wilayah yang tadinya termasuk wilayah relatif miskin
berubah menjadi kawasan yang kaya raya, sebagai contoh ; kawasan Kecamatan Satui dan Batulicin, Kabupaten
Tanah Bumbu, Kecamatan Pegaron
Kabupaten Banjar, Kecamatan
Jorong
Kabupaten Tanah Laut, dan
beberapa
wilayah di Kabupaten Tapin, Kotabaru, Balangan, serta Kabupaten Tabalong. Banyak warga yang tadinya hanya sebagai
petani atau buruh atau pedagang kecilan serta pegawai negeri sipil (PNS) rendahan
sekarang berubah menjadi “saudagar kaya”. Tadinya hanya memanggul cangkul
sekarang sudah bergaya, memakai mobil mewah, bahkan sebagian rakyat yang selama ini miskin juga terkena
imbasnya dengan meningkatkan perekonomian masyarakat tersebut (Hasan, 2007).
Sedangkan dampak negatif dari
adanya pertambangan batubara terjadi suatu kerusakan dalam tatanan lingkungan
yang ada baik itu lingkungan hidup, maupun lingkungan sosial. Dalam perkembangannya, tatanan lingkungan
hidup maupun lingkungan sosial hendaknya senantiasa diperhatikan agar tidak
mendatangkan berbagai jenis bencana, Bagaimana
tidak, di kawasan daratan Kalimantan
Selatan yang dikenal dengan bentuk Rumah Bubungan Tinggi itu
telah hancur, selain hutan gundul karena penebangan kayu secara membabi buta,
sekarang ditambang oleh
pertambangan
batu bara yang tak terkendali. Bahkan fakta memperlihatkan, ternyata
wilayah resapan air berupa hutan tropis basah di Pegunungan Meratus kini telah
tercabik-cabik oleh pertambangan batu bara baik legal maupun ilegal yang
dikelola pihak preman-preman.
Di kawasan pertambangan PT. Adaro
Indonesia (kabupaten
Balangan dan Tanjung), terdapat beberapa buah tandon raksasa atau kawah besar
bekas tambang yang menyebabkan bumi menganga tak mungkin bisa direklamasi,
akhirnya dibiarkan begitu saja. Begitu juga di
kawasan Satui dimana PT. Arutmin Indonesia beroperasi terdapat lubang-lubang pula namun
agak sedikit baik karena perusahaan ini berhasil mereklamasinya sebab tambang
di sini tak dalam, tetapi telah menyebabkan alam berganti menjadi hutan buatan
hasil revegetasi perusahaan
tetapi telah menghilangkan hutan alam penjaga lingkungan. Kondisi paling parah terlihat pada ratusan bahkan
ribuan hektare lahan bekas tambang Peti yang dikelola masyarakat baik
perusahaan kecil atau individu. Lahan-lahan mereka tersebut digali, kemudian
diambil batu baranya lalu bekas tambang itu dibiarkan rusak parah begitu saja
tanpa adanya reklamasi seperti terlihat di berbagai wilayah. Dampak yang
terasa dari lahan yang rusak demikian adalah bila hujan sedikit saja maka air
di atas gunung begitu deras turun tanpa bisa ditahan, dan air yang turun bukan
lagi air hujan jernih melainkan telah bercampur dengan lumpur dan debu batu
bara.
Bahkan sekarang ini Sungai Martapura yang berhulu di
Pegunungan Meratus yang dulunya biru telah berubah tingkat warna dan kekeruhan
akibat pertikel lumpur dan material lainnya. Sampai-sampai
alat pengukur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih, Kota Banjarmasin
yang mengambil air sungai tersebut sebagai bahan baku tak bisa lagi
mengukurnya, lantaran tingginya tingkat kekeruhan dan warna itu. Hasil sebuah
penelitian begitu tingginya tingkat kekeruhan dan warna air Sungai Martapura
tersebut ternyata air itu telah mengandung sejenis kaolin yakni bahan kimia
yang berasal dari tambang batu bara. Bukan hanya itu tambang batu bara di
Kalsel telah mengubah tingkat polusi udara dan debu di berbagai wilayah Kalsel.
Untuk itu diperlukan tanggung jawab dari semua elemen
masyarakat dalam menjaga tatanan lingkungan hidup dan lingkungan sosial
sehingga diharapkan akan tercipta suatu cara perspektif yang lebih baik dalam mengelola lingkungan.
Menurut Ahyar [dkk], (2010), bahwa kerusakan akibat
pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak lingkungan sangat terkait dengan
teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan. Sementara teknologi dan
teknik pertambangan tergantung pada jenis mineral yang ditambang dan kedalaman
bahan tambang, misalnya pada penambangan batubara yang dilakukan dengan sistem tambang
terbuka (open pit) yakni sistem dumping
(cara penambangan batubara dengan mengupas permukaan tanah). Dampak dari pertambangan batubara sistem terbuka ini adalah penurunan sifat
sifat-sifat fisik dan kimia, perubahan tofografi lahan, hilangnya vegetasi
alami, berkurangnya satwa liar, selain itu juga dampak dari adanya pertambangan
menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem yang besar, padahal gangguan logam
berat pada lahan-lahan dapat mengubah secara mendasar masyarakat tumbuhan,
sifat fisik, kimia, serta biologi tanah. Sisa-sisa bekas galian tambang menjadi
lahan yang sangat tidak subur, bahkan mengandung
unsur logam (mercury) yang berbahaya bagi pertumbuhan tanaman (Subowo, 2010)
Meningkatnya kegiatan pengusahaan batubara resmi
juga berdampak pada meningkatnya kegiatan Pertambangan Tanpa lzin (PETI)
batubara di Provinsi Kalimantan Selatan. Kegiatan PETI batubara di Kabupaten
Banjar sebagai salah
satu
kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan berkembang cepat seiring dengan
perubahan situasi dan kondisi ekonomi politik di tanah air. Pada tahun 1997, terdapat 157
pengusaha/perorangan yang melakukan kegiatan PETI batubara, yang meningkat
menjadi 445 pengusaha/perorangan pada tahun 2000 dan tersebar di seluruh
kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan (Qomariah 2003).
Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan
kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa
kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam dan membahayakan kelangsungan
hidup manusia itu sendiri. Kegiatan seperti pembukaan hutan, penambangan,
pembukaan lahan pertanian dan pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan
ekosistem yang terjadi. Akibat yang
ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk,
seperti contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan),
kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam
berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah. Untuk
itu diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelestarian lingkungan agar
tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara
merehabilitasi ekosistem yang rusak. Dengan rehabilitasi tersebut diharapkan
akan mampu memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat pulih, mendekati
atau bahkan lebih baik dibandingkan kondisi semula (Rahmawaty, 2002).
Secara garis besar, ada beberapa faktor yang menyebabkan
kerusakan daya dukung alam, diantaranya adalah kerusakan dalam (internal)
dan kerusakan luar (external). Kerusakan
dalam adalah kerusakan yang disebabkan oleh alam itu sendiri. Kerusakan jenis
ini sangat sulit untuk dicegah karena merupakan suatu proses alami yang sangat
sulit untuk diduga, seperti letusan gunung berapi yang dapat merusak
lingkungan, gempa bumi yang berakibat runtuhnya lapisan tanah yang dapat
mengancam organisme hayati maupun non hayati dan lain sebagainya. Kerusakan
yang bersifat dari dalam ini biasanya berlangsung sangat cepat dan pengaruh
yang ditimbulkan dari adanya kerusakan ini adalah sangat lama. Kerusakan luar (external) adalah
kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam pengelolaan alam dalam
usaha peningkatan kualitas hidup. Kerusakan luar ini pada umumnya disebabkan
oleh aktivitas pabrik yang mengeluarkan limbah, ataupun membuka sumber daya
alam tanpa memperhatikan lingkungan hidup serta tidak mempelajari segi
efektivitasnya dan dampaknya terhadap lingkungan disekitarnya. Beberapa contoh
penyebab kerusakan daya dukung alam yang berasal dari luar adalah pencemaran
udara dari pabrik dankendaraan bermotor, pembuangan limbah pabrik yang belum
diolah dulu menjadi pembuangan limbah yang bersahabat dengan alam. Karena
kerusakan faktor luar ini disebabkan oleh ulah manusia, maka manusia hendaknya
lebih bertanggungjawab terhadap adanya upaya untuk merusak lingkungan hidup, Hal ini tercermin dari akibat pengelolaan
lingkungan hidup yang tidak benar dan akibat pencemaran lingkungan yang ada
sampai sekarang ini.
Menurut Rensi (2012) diperkirakan dalam masa 300 (tiga
ratus) tahun belakangan ini telah banyak spesies yang sudah punah dari muka
bumi ini, dan semakin lama akan semakin bertambah sehingga dikhawatirkan suatu
saat manusia juga, akan dapat menjadi korban kepunahan. Menurut fakta ini,
perlu adanya upaya penyelematan lingkungan. Usaha seperti ini tentunya dimulai dari diri
sendiri. Setiap individu harus
memberikan suatu sumbangan dan penyelamatan lingkungan demi kelestarian
lingkungan. Dengan demikian, setiap
individu harus mengingatkan minimal dirinya sendiri bahwa setiap tindakan yang
mencemari lingkungan, dengan menggunakan zat kimia berbahaya perlu diperhatikan
terhadap pengelolaan lingkungan hidup untuk lebih baik dimasa yang akan datang.
Seperti yang telah diketahui bersama, adanya kerusakan lingkungan lebih banyak
dikarenakan adanya ulah manusia dan adanya faktor alam yang ada selama ini.
2.2. Reklamasi Lahan Bekas Tambang
Batubara
a. a.
Pengertian
Reklamasi
Reklamasi lahan pasca tambang di Negara-negara maju
diatur dalam Undang-Undang. Pelaksanaannya dikontrol sangat ketat oleh warga
negara /masyarakat dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, yang dilakukan di Negara
bagian Illinois USA. Pemerintah atas nama negara mengamankan sumberdaya lahan
agar tidak rusak pada aktifitas eksploitasi tambang batubara terbuka. Supervisi reklamasi lahan dilakukan oleh
pemerintah daerah yang didukung dengan Undang-Undang tentang perlindungan
sumberdaya lahan dengan perangkat aturan pelaksanaannya (Arnold.2001). Demikian pula di Indonesia, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup diikuti
tindakan berupa pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum seperti tercantum dalam UUD 1945. Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagaimana telah diubah dan diperbarui oleh Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah payung dibidang pengelolaan
lingkungan hidup serta sebagai dasar penyesuaian terhadap perubahan atas
peraturan yang telah ada sebelumnya, serta menjadikannya sebagai satu kesatuan
yang bulat dan utuh didalam suatu sistem (Rensi, 2012).
Menurut Undang-Undang
No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan
hidup.
Pengelolaan lingkungan
hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas
berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
Menurut Sitorus (2003) alat strategis untuk memperbaiki kerusakan
akibat penambangan sistem terbuka adalah dengan mengembalikan sisa hasil penambangan kedalam
lubang-lubang tambang, dan menanam kembali vegetasi dengan memperhatikan sisa
galian (tailing) yang mengandung bahan beracun. Pada lahan pasca
tambang batubara, reklamasi lahan adalah usaha / upaya menciptakan agar
permukaan tanah dapat stabil, dapat menopang sendiri secara keberlanjutan (self-sustaining)
dan dapat digunakan untuk berproduksi, dimulai dari hubungan antara tanah dan
vegetasi, sebagai titik awal membangun ekosistem baru. Reklamasi lahan pasca
tambang batubara yang dikaitkan dengan revegetasi pada dasarnya adalah untuk
mengatasi berlanjutnya kerusakan lahan dan menciptakan proses pembentukan unsur
hara melalui pelapukan serasah daun yang jatuh. Aktifitas tersebut diharapkan
dapat secara berkelanjutan dan dapat membentuk ekosistem baru.
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan
memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan
usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Reklamasi lahan bekas tambang selain
merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar
menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan juga diupayakan menjadi lebih
baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan
galian yang masih tertinggal.
Prinsip lingkungan hidup yang wajib dipenuhi
dalam melaksanakan reklamasi dan pasca tambang adalah :
1. Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, tanah dan
udara2
2. Perlindungan Keanekaragaman hayati3
3. Penjaminan stabilitas dan keamanaan
timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang dan struktur buatan lainnya4
4. Pemanfaatan lahan bekas tambang5
5. Memperhatikan nilai‐nilai sosial dan budaya setempat6
6. Perlindungan terhadap kuantitas air tanah
Kegiatan reklamasi merupakan akhir dari kegiatan
pertambangan yang diharapkan dapat mengembalikan lahan kepada keadaan semula,
bahkan jika memungkinkan dapat lebih baik dari kondisi sebelum penambangan.
Kegiatan reklamasi meliputi pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki
lahan yang terganggu ekologinya dan mempersiapkan lahan bekas tambang yang
sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari
reklamasi adalah untuk memperbaiki lahan bekas tambang agar kondisinya aman,
stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali.
Secara teknis usaha reklamasi lahan tambang terdiri
dari recontouring/ regrading/resloping lubang bekas tambang dan
pembuatan saluran-saluran drainase untuk memperoleh bentuk wilayah dengan
kemiringan stabil, top soil spreading agar memenuhi syarat sebagai media
pertumbuhan tanaman, untuk memperbaiki
tanah sebagai media tanam, revegetasi dengan tanaman cepat tumbuh, tanaman asli
lokal dan tanaman kehutanan introduksi. Perlu juga direncanakan pengembangan
tanaman pangan, tanaman perkebunan dan atau tanaman hutan industri, jika
perencanaan penggunaan lahan memungkinkan untuk itu (Djati, 2011).
b. Teknologi
dan langkah-langkah reklamasi
Menurut Dariah [dkk], (2010), bahwa Reklamasi lahan
perlu dilakukan diantaranya untuk meningkatkan daya dukung dan daya guna bagi
produksi biomassa. Penentuan jenis pemanfaatan lahan antara lain perlu
didasarkan atas status kepemilikan dan kondisi bio-fisik lahan, serta kebutuhan
masyarakat atau Pemda setempat. Ke depan, persyaratan pengelolaan lahan tambang
tidak cukup hanya dengan study kelayakan pembukaan usaha penambangan saja,
namun perlu dilengkapi juga dengan perencanaan penutupannya (planning of
closure), yang mencakup perlindungan lingkungan dan penanggulangan masalah
sosial-ekonomi. Hal ini perlu dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian
izin penambangan. Reklamasi lahan bekas
tambang memerlukan pendekatan dan teknologi yang berbeda tergantung atas sifat gangguan
yang terjadi dan juga peruntukannya (penggunaan setelah proses reklamasi).
Namun secara umum, garis besar tahapan reklamasi adalah sebagai berikut:
1.
Konservasi
Top Soil
Lapisan tanah paling atas atau tanah pucuk,
merupakan lapisan tanah yang perlu dikonservasi, karena paling memenuhi syarat untuk
dijadikan media tumbuh tanaman. Hal ini mencerminkan
bahwa proses reklamasi harus sudah mulai berjalan sejak proses penambangan dilakukan,
karena konservasi tanah pucuk harus dilakukan pada awal penggalian. Namun banyak perusahaan tambang yang tidak mematuhi
hal
ini,
akibatnya harus mengangkut tanah pucuk dari luar dengan biaya tinggi, dan
menimbulkan permasalahan di lokasi tanah pucuk berada. Beberapa hal yang harus
diperhatikan, adalah: (a) menghindari tercampurnya subsoil yang mengandung
unsur atau senyawa beracun, seperti pirit, dengan tanah pucuk, dengan cara mengenali
sifat-sifat lapisan tanah sebelum penggalian dilakukan, (b) menggali tanah
pucuk sampai lapisan yang memenuhi persyaratan untuk tumbuh tanaman, (c)
menempatkan galian
tanah
pucuk pada areal yang aman dari erosi dan penimbunan bahan galian lainnya, (d) menanam
legum yang cepat tumbuh pada tumpukan tanah pucuk untuk mencegah erosi dan
menjaga kesuburan tanah (Lampiran 1).
2.
Penataan
Lahan
Penataan lahan dilakukan untuk memperbaiki kondisi
bentang alam, antara lain dengan cara: (a) menutup lubang galian (kolong)
dengan menggunakan limbah tailing (overburden). Lubang kolong yang sangat dalam dibiarkan terbuka,
untuk penampung air; (b) membuat saluran drainase untuk mengendalikan kelebihan
air, (c) menata lahan agar revegetasi lebih mudah dan erosi terkendali,
diantaranya dilakukan
dengan
cara meratakan permukaan tanah, jika tanah sangat bergelombang penataan lahan dilakukan
bersamaan dengan penerapan suatu teknik konservasi, misalnya dengan pembuatan
teras, (d) menempatkan tanah pucuk agar dapat digunakan secara lebih efisien.
Karena umumnya jumlah tanah pucuk terbatas, maka tanah pucuk diletakan pada
areal atau jalur tanaman. Tanah pucuk dapat pula diletakkan pada lubang tanam.
3.
Pengelolaan
Sedimen dan Pengendalian Erosi
Pengelolaan sedimen dilakukan dengan membuat
bangunan penangkap sedimen, seperti rorak, dan di dekat outlet dibuat bangunan penangkap
yang relatif besar. Cara vegetative juga merupakan metode pencegahan erosi yang
dapat diterapkan pada areal bekas tambang.
Tala’ohu et al. (1995) menggunakan strip vetiver untuk pencegahan
erosi pada areal bekas tambang batu bara. Vetiver merupakan pilihan yang
terbukti tepat, karena selain efektif menahan erosi, tanaman ini juga relatif
mudah tumbuh pada kondisi lahan buruk sehingga bertindak sebagai tanaman
pioner.
4.
Penanaman
Cover Crop
Penanaman cover crop (tanaman penutup) merupakan
usaha untuk memulihkan kualitas tanah dan mengendalikan erosi. Oleh karena itu keberhasilan
penanaman penutup tanah sangat menentukan keberhasilan reklamasi lahan pasca penambangan.
Karakteristik cover crop yang dibutuhkan, sebagai berikut: mudah
ditanam, cepat tumbuh dan rapat, bersimbiosis dengan bakteri atau fungi yang
menguntungkan (rhizobium, frankia, azospirilum, dan mikoriza), menghasilkan
biomassa yang melimpah dan mudah terdekomposisi, tidak berkompetisi dengan
tanaman pokok dan tidak melilit. Pada areal bekas tambang nikel PT Inco (Ambodo,
2008) menggunakan dua jenis rumput (Echinocloa sp. dan Cynodon
dactylon) serta dua jenis legum (Macroptilium bracteatum dan Chamaecrista
sp.) sebagai cover crop. Selain itu juga dicampurkan tanaman legum
lokal seperti Clotalaria sp., Theprosia sp., Calindra sp.,
dan Sesbania rostata. Dengan campuran jenis tersebut dalam waktu dua
bulan setelah penanaman didapatkan penutupan lebih dari 80%. Kemampuan tanaman
penutup untuk mendukung pemulihan kualitas tanah sangat tergantung pada tingkat
kerusakan tanah. Santoso [dkk], (2008).
menyatakan bahwa sebaiknya cover crop
ditanam pada tahun pertama dan kedua proses reklamasi.
5.
Penanaman
Tanaman Pionir
Untuk mengurangi kerentanan terhadap serangan hama
dan penyakit, serta untuk lebih banyak menarik binatang penyebar benih, khususnya
burung, lebih baik jika digunakan lebih dari satu jenis tanaman
pionir/multikultur (Ambodo, 2008). Beberapa jenis tanaman pionir adalah :
sengon buto (Enterrolobium cylocarpum),
Sengon
(Paraserianthes falcataria), johar (Casia siamea), Cemara (Casuarina
sp.), dan Eukaliptus pelita. Dalam waktu dua tahun kerapatan tajuk yang
dibentuk tanaman-tanaman tersebut mampu mencapai 50-60% sehingga kondusif untuk
melakukan restorasi jenis-jenis lokal, yang umumnya bersifat semitoleran. Tanaman
pioner ditanam dengan sistem pot pada lubang berukuran lebar x panjang x dalam
sekitar
60 x 60 x 60 cm, yang diisi dengan tanah pucuk dan pupuk organik. Di beberapa
lokasi, tanaman pioneer ditanam langsung setelah penataan lahan, padahal
tingkat keberhasilannya relatif rendah (Puslittanak, 1995). Pada areal bekas
timah,
meskipun
sudah ditanam dengan sistem pot, tanaman tumbuh baik hanya pada awal
pertumbuhan,
selanjutnya pertumbuhannya lambat dan beberapa diantaranya mati, karena media
tanam dalam pot sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan tanaman. Santoso [dkk],
(2008) menyatakan bahwa penanaman tanaman pioner sebaiknya dilakukan pada
tahun ke 3-5, setelah penanaman tanaman penutup tanah.
6.
Penanggulangan
Logam Berat
Pada areal yang mengandung logam berat dengan kadar
di atas ambang batas diperlukan perlakuan tertentu untuk mengurangi kadar logam
berat tersebut. Vegetasi penutup tanah yang digunakan untuk memantapkan
timbunan buangan tambang dan membangun kandungan bahan organik, bermanfaat pula
untuk mengurangi kadungan logam berat dengan menyerapnya ke dalam jaringan
(Notohadiprawiro, 2006). Beberapa
laporan juga menunjukkan bahwa bahan organik berkorelasi negatif dengan kelarutan
logam berat di dalam tanah, karena keberadaan bahan organik tanah meningkatkan kapasitas
tukar kation (KTK) tanah (Salam [dkk]. dalam Haryono dan Soemono, 2009).
Hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan organik dikombinasikan dengan
pencucian dapat menurunkan kandungan logam mercuri (Hg) dalam tanah sampai 84%.
Pada areal dengan kandungan logam berat tinggi sebaiknya jangan dulu dilakukan penanaman
komoditas yang dikonsumsi. Perlu dipilih jenis tanaman yang toleran terhadap logam
berat, misalnya di Ameria Serikat ditemukan jenis tanaman pohon hutan,
diantaranya Betula spp. dan Salix spp. yang dapat bertahan hidup
di areal bekas tambang yang mengandung Pb sampai 30.000 mg/kg dan Zn sampai
100.000 mg/kg. Kemampuan ini ternyata dibangkitkan oleh asosiasi pohon dengan
mikoriza (Notohadiprawiro, 2006). Perlu diidentifikasi
tanaman-tanaman lain yang toleran terhadap logam berat yang dapat tumbuh baik
di wilayah tropis seperti Indonesia. Selain dalam tanah penanggulangan pencemaran
logam berat dalam air juga harus dilakukan, tanaman eceng gondok dapat digunakan
untuk membersihkan badan air dari logam berat (Notohadiprawiro, 2006). Penanganan
logam berat dengan mikroorganisme atau mikrobia (dalam istilah biologi disebut dengan
bioakumulsi, bioremediasi, atau bioremoval), menjadi alternatif yang dapat dilakukan
untuk mengurangi keracuan elemen logam berat di lingkungan perairan (Mursyidin,
2006).
Menurut Latifah (2003) mengatakan
bahwa Penambangan dapat mengubah lingkungan fisik,
kimia dan biologi seperti : bentuk lahan dan kondisi tanah, kualitas dan aliran
air, debu, getaran, pola vegetasi dan habitat fauna, dan sebagainya.
Perubahan-perubahan ini harus dikelola untuk menghindari dampak lingkungan yang
merugikan seperti erosi, sedimentasi, drainase yang buruk, masuknya
gulma/hama/penyakit tanaman, pencemaran air permukaan/air tanah oleh bahan
beracun dan lain-lain.
Sasaran
Reklamasi Dalam kegiatan reklamasi terdiri dari
dua Kegiatan yaitu :
1.
Pemulihan lahan bekas
tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya.
2.
Mempersiapkan lahan bekas
tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatannya selanjutnya.
Untuk melakukan reklamasi lahan bekas
tambang diperlukan perencanaan
yang
baik agar dalam pelaksanaannya dapat tercapai sasaran sesuai yang dikehendaki.
Hal-hal yang harus diperhatikan didalam perencanaan reklamasi
adalah sebagai berikut :
1.
Mempersiapkan rencana
reklamasi sebelum pelaksanaan penambangan
2.
Luas areal yang
direklamasikan sama dengan luas areal penambangan.
3.
Memindahkan dan menempatkan
tanah pucuk pada tempat tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan
revegetasi.
4.
Mengembalikan/memperbaiki
pola drainase alam yang rusak
5.
Menghilangkan/memperkecil
kandungan (kadar) bahan beracun sampai tingkat yang aman sebelum dapat dibuang
ke suatu tempat pembuangan.
6.
Mengembalikan lahan seperti
keadaan semula dan/atau sesuai dengan tujuan penggunaannya.
7.
Memperkecil erosi selama dan
setelah proses reklamasi.
8.
Memindahkan semua peralatan
yang tidak digunakan lagi dalam aktifitas penambangan.
9.
Permukaan yang padat harus
digemburkan namun bila tidak memungkinkan agar ditanami dengan tanaman pionir
yang akarnya mampu menembus tanah yang keras.
10. Setelah penambangan maka pada lahan bekas tambang yang
diperuntukkan bagi revegetasi, segera dilakukan penanaman kembali dengan jenis
tanaman yang sesuai dengan rencana rehabilitasi dari Departemen Kehutanan dan
RKL yang dibuat.
11. Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya.
12. Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Setiap lokasi pertambangan mempunyai
kondisi tertentu yang mempengaruhi
pelaksanaan
reklamasi. Pelaksanaan reklamasi umumnya
merupakan gabungan dari pekerjaan teknik sipil dan teknik re vegetasi. Pelaksanaan reklamasi meliputi kegiatan
sebagai berikut :
1.
Persiapan lahan yang berupa
pengamanan lahan bekas tambang, pengaturan bentuk lahan (“landscaping”),
pengaturan/penempatan bahan tambang kadar rendah (“lowgrade”) yang belum
dimanfaatkan.
2.
Pengendalian erosi dan
sidementasi
3.
Pengelolaan tanah pucuk
(“top soil”).
4.
Revegetasi (penanaman
kembali) dan/atau pemanfaatan lahan bekas tambang untuk tujuan lainnya.
2.3. Kendala Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara
Lahan pasca tambang batubara terbuka pada umumnya
mengalami perubahan karakteristik dari aslinya. Apabila tidak dikelola dengan
baik akan menjadi lahan kritis.
Ditinjau dari faktor penyebabnya lahan pasca tambang
batubara yang termasuk kategori lahan kritis secara fisik, kimia dan secara
hidro-orologis, dapat diuraikan sebagai berikut : secara fisik, lahan telah
mengalami kerusakan, ciri yang menonjol dan dapat dilihat di lapangan, adalah
kedalaman efektip tanah sangat dangkal. Terdapat
berbagai lapisan penghambat pertumbuhan tanaman seperti pasir, kerikil, lapisan
sisa-sisa tailing dan pada kondisi yang parah dapat pula terlihat
lapisan cadas. Bentuk permukaan tanah biasanya secara topografis sangat
ekstrem, yaitu antara permukaan tanah yang berkontur dengan nilai rendah dan
berkontur dengan nilai tinggi pada jarak pendek bedanya sangat menonjol, Dengan
kata lain terdapat perbedaan kemiringan tanah yang sangat mencolok pada jarak
pendek. Secara kimia, lahan tidak dapat lagi memberikan dukungan positif
terhadap penyediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Secara hidro-orologis,
lahan pasca tambang tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagai pengatur
tata air. Hal ini terjadi karena terganggunya kemampuan lahan untuk menahan,
menyerap air dan menyimpan air, karena tidak ada vegetasi atau tanaman penutup
lahan. (Sitorus,2003).
Aktifitas eksploitasi batubara yang dilakukan oleh
penambang yang tidak resmi (illegal mining) tidak pernah melakukan
rehabilitasi lahan. Permasalahan rehabilitasi lahan pasca penambangan, menurut Lubis (1997) adalah hal yang paling rumit,
karena disamping menyangkut masalah biaya, waktu juga diperlukan keahlian
khusus. Hal ini terkait dengan bagaimana melakukan reklamasi lahan sekaligus
sebagai media tumbuh vegetasi agar tercipta kelestarian lingkungan alam tetap
terjaga.
Menurut David (2013) Masalah reklamasi atau pengembalian
fungsi awal lahan yang telah digunakan sektor pertambangan belum satu suara. Kementerian Kehutanan meminta agar
pengembalian fungsi lahan yang telah digunakan sektor pertambangan harus
dihijaukan dengan cara menanam pepohonan. Namun Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) menilai upaya reklamasi bisa dialihkan dengan membuat danau
pasca eksplorasi tambang.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian
Energi Sumberdaya Mineral (ESDM), proses reklamasi yang diharapkan Kementrian
Kehutanan selama ini mengharuskan lahan tambang perlu dihijaukan dengan ditumbuhi
pepohonan setelah eksploitasi, padahal aspek tersebut bisa dialihkan dengan membuat
aksi lain sehingga lahan bekas tambang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kajian ini dapat didiskusikan bersama antara Kementrian ESDM
dengan Kemenhut. Pihaknya ingin kegiatan sektor tambang tetap meningkat seiring
implementasi proses hilirisasi karena itu upaya yang justru menambah beban
biaya di sektor ini perlu diperhatikan. "Mereka itu kan ingin tetap ada
profitnya. Kalau mereka tidak ada penerimaan negara juga nihil. Setidaknya kita
harus sama-sama untung," .
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen)
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 146 tahun 1999; reklamasi bekas tambang perlu
dilakukan guna memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalarn
kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi
agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
Sementara itu, Ketua Umum Forum Rehabilitasi Hutan pada
Lahan Bekas Tambang, menyebutkan bahwa reklamasi lahan bekas tambang tidak hanya
sekedar dihijaukan namun harus memiliki nilai tambah dan memberikan manfaat
kepada berbagai stokeholder di lingkungan bekas tambang tersebut. "Usaha
pertambangan memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung perekonomian
nasional, serta dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada masyarakat”,
Maka dari itu, pertambangan harus
dilakukan sesuai dengan prosedur dan diawasi oleh orang yang ahli lingkungan
yang menyangkut pertambangan. Hal ini dilakukan agar lingkungan juga bisa
dinikmati oleh anak cucu di masa mendatang.
Deputi Bidang Pengendalian Lingkungan Kementerian Lingkungan
Hidup mengatakan bahwa , program
reklamasi lahan bekas tambang tidak lagi harus mengembalikan fungsi lahan
sebagai hutan. "Bekas tambang itu dapat dijadikan kawasan hutan, terutama
kalau memang asalnya hutan. Tapi seiring dengan perkembangan kawasan itu, bekas
tambang dapat juga dijadikan perkebunan, kolam budidaya ikan, pertanian
palawija, irigasi, air baku, atau taman wisata air," paparnya.
Berdasarkan definisi Peraturan Menteri ESDM, reklamasi
adalah kegiatan perusahaan yang bertujuan memperbaiki atau menata lahan yang
terganggu agar dapat berfungsi dan berguna kembali sesuai peruntukannya. Secara umum kegiatan
pertambangan seperti tambang batubara dapat memberikan keuntungan ekonomis
namun juga dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem tanah.
Kegiatan pertambangan
yang dilakukan dengan pertambangan terbuka, akan menimbulkan tumpukan bahan
non-batubara. Tanah sisa galian pertambangan batubara terdiri dari sisa
batubara (batubara muda) dan batuan-batuan seperti batu liat (clay stone),
batu lanau (silt stone), batu pasir (sand stone) atau tufa vulkan
(Tala’ohu [dkk], 1995).
Tanah galian batubara umumnya tersusun terbalik dari
susunan awalnya. Tanah lapisan atas (top soil) berada di bawah tanah
lapisan bawah (sub soil). Umumnya bahan-bahan ini ditumpuk diatas
tanah-tanah yang produktif sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan
menurunkan produktivitas tanah.
Umumnya
areal bekas timbunan batubara ini dalam beberapa tahun pertama sulit ditumbuhi
vegetasi karena berbagai macam kendala.
Beberapa kendala fisik yang dihadapi dalam upaya
reklamasi tanah bekas penambangan batubara yakni: tanah terlalu padat, struktur
tanah tidak mantap, aerasi dan drainase tanah jelek, serta lambat meresapkan
air. Selain itu kendala kimia seperti pH sangat masam, tingginya kadar garam,
dan rendahnya tingkat kesuburan tanah merupakan pembatas utama dalam
mereklamasi area tanah timbunan. Konsekuensinya diperlukan input yang relatif
besar (seperti: pupuk buatan dan pupuk organik, berbagai senyawa senyawa kimia
untuk mengendalikan hama dan penyakit, sarana dan prasarana untuk menjamin
ketersediaan air bagi tanaman) untuk memperbaiki kualitas atau menyehatkan
ekosistem tanah agar dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Kegiatan pascapenambangan berupa kegiatan reklamasi
yang terencana sejak
sebelum
penambangan dapat memiliki banyak kendala yaitu (1) curah hujan tinggi yang mengakibatkan
hambatan daerah penyiapan untuk reklamasi, (2) potensi terjadinya erosi permukaan
yang mempengaruhi kestabilan daerah timbunan, (3) kondisi lapisan tanah yang
masam dan tingkat hara yang rendah (umumnya di Kalimantan) dan (4) keterbatasan
material overburden NAF (Non Acid Forming). penggunaan alat berat
dalam kegiatan penambangan dapat mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga
menurunkan porositas, permeabilitas dan kapasitas penahan air tanah. masalah
yang dijumpai dalam mereklamasi lahan bekas tambang adalah masalah fisik, kimia
(berupa nutrisi maupun keracuanan hara) dan biologi. Kegiatan pertambangan
mempengaruhi solum tanah dan terjadinya pemadatan tanah, mempengaruhi
stabilitas tanah dan bentuk lahan.
Kegiatan pertambangan dan kegiatan reklamasi harus
terencana dengan baik agar dalam pelaksanaanya tercapai sasaran yang diinginkan
atau sesuai tata ruang yang telah direncanakan. Pada proses akhir penambangan
batasan tanah secara alamiah sudah tidak jelas lagi karena dalam proses
penimbunan kembali tidak dapat dibedakan hubungan genetis antara bahan induk, overburden
dan top soil. Lahan bekas penambangan umumnya mengalami dampak
penurunan kesuburan tanah, khususnya kandungan bahan organik tanah.
2.4. Alternatif Solusi yang Ditawarkan.
Pemerintah gencar menggali potensi perolehan devisa
dari sektor pertambangan sebagai akibat semakin terbatasnya kemampuan negara
untuk memperoleh pendapatan dari sektor lainnya. Deposit bahan galian (bahan
mineral, batubara, bahan fosil, dan lain-lain) banyak tersebar diberbagai
daerah dengan berbagai jenis dan kapasitas, potensial untuk dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk menopang kebutuhan negara. Hal ini penting karena
Indonesia berada di kawasan vulkanik tropika basah dengan zone penunjaman (subduction
zone) yang membujur di pantai barat, pantai selatan dan pantai utara bagian
timur, sehingga memiliki erupsi indeks 99%
(Munir, 1996). Laju pasokan mineral berlangsung intensif, sehingga Indonesia
banyak memiliki deposit mineral bahan tambang. Di lain pihak laju pelapukan
mineral juga berlangsung intensif, sehingga apabila tidak segera ditambang/ dimanfaatkan
sebagai bahan baku industri, deposit bahan mineral ini akan cepat mengalami pelapukan/kerusakan
dan apabila dibiarkan akan hilang terbawa aliran air yang dapat mencemari lingkungan
(Subowo, 2012).
Kegiatan pertambangan bahan galian berharga dari
lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar
pengolahan relative tidak berubah, yang
berubah adalah skala kegiatannya. Mekanisasi
peralatan pertambangan telah menyebabkan skala pertambangan semakin membesar. Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan
ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan
semakin dalam mencapai lapisan bumi jauh di bawah permukaan (Sabtanto, 2010).
Simarmata (2005) menyebutkan salah satu strategi dan
upaya yang ramah lingkungan untuk mengembalikan vitalitas (kualitas dan
kesehatan) tanah adalah dengan sistem pertanian ekologis terpadu. Pengembangan
pertanian ekologis ini didukung dengan kemajuan dalam bidang bioteknologi tanah
yang ramah lingkungan, yaitu pemanfaatan pupuk hayati (biofertilizers).
Pupuk hayati memberikan alternatif yang tepat untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas tanah dan mempertahankan kualitas tersebut sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan dan menaikkan hasil maupun kualitas dari berbagai
tanaman secara signifikan.
Pupuk hayati yang sering digunakan dalam
rehabilitasi lahan bekas pertambangan adalah mikoriza. Mikoriza merupakan suatu
bentuk simbiosis mutualisme antara jamur dan akar tanaman tingkat tinggi.
Dimana jamur mendapatkan keuntungan dari suplai karbon (C) dan zat-zat
essensial dari tanaman inang dan tanaman inang mendapatkan berbagai nutrisi,
air, dan proteksi biologis (Turjaman [dkk], 2005).
Penggunaan mikoriza telah terbukti mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman kehutanan (revegetasi) pada lahan bekas
pertambangan maupun lahan kritis secara signifikan. Selain itu mikoriza juga
memiliki peranan yang sangat penting untuk melindungi tanaman dari serangan
patogen, dan kondisi tanah dan lingkungan yang kurang kondusif seperti: pH
rendah, stress air, temperatur ekstrim, salinitas yang tinggi, dan tercemar
logam berat (Setiadi, 2004).
Hasil berbagai penelitian pada lahan marjinal di
Indonesia menunjukkan bahwa aplikasi pupuk biologis seperti mikoriza dapat
meningkatkan pertumbuhan berbagai tanaman (Jagung, Kedelai, Kacang Tanah,
Tomat, Padi, dan tanaman lainnya) dan ketersediaan hara bagi tanaman antara 20
hingga 100% (Simarmata dan Herdiani, 2004). Tanaman jagung sendiri merupakan
salah satu jenis tanaman yang banyak dijadikan objek dalam penelitian mengenai
mikoriza. Berdasarkan hasil penelitian
Margaretha (2010) diperoleh hasil
Pemberian mikoriza dapat mempengaruhi kolonisasi mikoriza pada rhizosfer,
derajat infeksi akar, C-organik, P tersedia dan tinggi tanaman , namun belum
berpengaruh terhadap pH tanah, N-total tanah, dan berat kering tanaman. Pemberian mikoriza pada takaran 200 g pot-1
memberikan pengaruh tertinggi terhadap derajat infeksi akar, dan perlakuan 100
g pot-1 memberikan pengaruh tertinggi terhadap kolonisasi mikoriza di rhizosfer
tanaman jagung manis.
Menurut Mursyidin
(2009) menyimpulkan bahwa Upaya
perbaikan lahan bekas tambang merupakan hal yang sangat mendesak dilakukan. Hal
ini karena sistem perbaikan (reklamasi) lahan yang sudah ada masih dilaksanakan
secara konvensional, yaitu dengan menanami areal bekas tambang tersebut dengan
tumbuhan. Upaya perbaikan dengan cara ini dirasakan kurang efektif, hal ini
karena tanaman secara umum kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan ekstrim,
termasuk bekas lahan tambang. Teknologi alternatif perbaikan lahan bekas
tambang menggunakan mikroorganisme terutama jamur (fungi) merupakan hal yang
sangat menarik dan penting dilakukan. Hal ini karena jamur memiliki
keistimewaan, selain adaptif terhadap berbagai kondisi tanah juga kemampuannya
dalam menguraikan bahan organik dan membantu proses mineralisasi di dalam tanah.
Sebagai bahan pembanding reklamasi
yang dilakukan oleh P.T. Adaro Indonesia sebagai berikut :
1. Pengelolaan Top Soil
Menggunakan peralatan seperti dozer,
excavator dan dump truck
2. Revegetasi
Penanaman
secara manual dan menggunakan metode hydroseeding dengan alat hydroseeder
3. Pengendalian erosi
Menggunakan peralatan seperti dozer,
excavator, dump truck.
Hasil pelaksanaan reklamasi yang dilakukan oleh PT.
Adaro Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Tanaman
reklamasi sustain (berkelanjutan)
2. Erosi
di area reklamasi semakin kecil dan kualitas air yang dihasilkan semakin baik
3. Keanekaragaman
hayati yang semakin membaik
Luasan lahan yang telah di reklamasi di dua wilayah
yakni ; Paringin dan Tutupan seluas In pit 146,3 Ha, Out pit 1.533,12 Ha dan lain-lain seluar 21,36 Ha (Agus [dkk],
2012). Jelasnya dapat dilihat pada lampiran 2.
BAB
III. KESIMPULAN
Di Indonesia sektor pertambangan dapat dikatakan
sebagai motor penggerak perekonomian nasional, karena kontribusi
pertambangan untuk pembangunan regional cukup besar, pertambangan merupakan opsi menarik untuk
optimalisasi penggunaan lahan, menambah lapangan kerja, memenuhi kebutuhan
dalam negeri dan penerimaan Negara, namun
demikian dampak yang ditimbulkan akibat penambangan batubara akan menimbulkan
ketidak seimbangan ekologi `atau ekosistem, hal ini akan menyebabkan kerusakan
lingkungan, krisis lingkungan, konflik sosial dan lain sebagainya.
Reklamasi sebagai usaha untuk memperbaiki atau
memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan,
agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya, sehingga reklamasi
mutlak harus dilakukan mengingat saat ini banyak masalah atau musibah yang muncul
sebagai akibat dari lahan pasca tambang yang dibiarkan begitu saja tanpa ada
upaya untuk reklamasi, seperti ; bencana banjir, pencemaran lingkungan,
sedimentasi daerah aliran sungai,
konflik sosial, hilangnya lahan-lahan produktif, sulitnya pada daerah pertambangan mendapatkan
air bersih dan lain sebagainya, hal ini apabila dibiarkan begitu saja, maka akan
menjadi ancaman baru terhadap kehidupan diatas muka bumi ini.
Pada umumnya reklamasi yang
dilakukan oleh para perusahaan pertambangan saat ini ditemukan beberapa kendala
diantaranya, memerlukan biaya yang sangat besar dan teknologi modern, sehingga sanggup
melakukan hal ini hanya perusahaan besar saja dan luasan yang reklamasi hanya sebagian kecil
saja, apakah sebanding antara lahan yang rusak dengan yang direklamasi, dan nampaknya
kegiatan reklamasi dilakukan tidak serius, terkesan tanam buang karena
terkendala oleh iklim.
Sementara itu ada alternatif yang
ditawarkan dalam rangka reklamasi lahan bekas tambang batubara dengan konsep tidak
memerlukan biaya yang besar dan jangkauan reklamasi lebih luas, mudah dan murah
; yakni dengan konsep kembali kealam atau reklamasi lahan bekas tambang
batubara secara hayati.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Subandrio,
Sukarman, dan Ronny, P. Tambunan. 2012 Pelaksanaan
Reklamasi di PT Adaro Indonesia .
Environmental Department PT Adaro Indonesia. Environmental Department PT Adaro
Indonesia. email : agussubandrio @ptadaro. com, sukarman@ptadaro.com,
ronny@ptadaro.com
Ahyar Gunawan1*, I Nengah Surati Jaya2, dan Muhammad Buce Saleh2. Teknik
Cepat Identifikasi Lahan Terbuka Melalui Citra Multi Temporal dan Multi Spasial
Quick Tecniques in Indentifying Open
Area by the Use of Multi Spatial and Multidate Imageries. JMHT Vol. XVI,
(2): 63–72, Agustus 2010 Artikel Ilmiah ISSN: 2087-0469.
Ambodo, A.P.
2004. Aplikasi Mikoriza untuk Peningkatan Pertumbuhan Tanaman dan efisiensi
Biaya pada Lahan Pasca Tambang di PT. International Nickel Indonesia. Makalah
disampaikan pada Lokakarya dan Rapat Koordinasi serta Fasilitasi Nasional,
Penerapan Bioremediasi untuk Reklamasi dan Rehabilitasi lahan Bekas Tambang di
Kawasan Timur Indonesia, 5 April 2004, Jakarta.
Arif, I., 2007. Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan
Lingkungan Dunia Pertambangan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Arnold,B.H.2001.
The Evaluation of Reclamation Derelict Land and Ecosistems.
Journal Land Rehabilitation and
Restoration Ecology.7(2):35-54, Massachusetts. USA.
Bramas. 2012. Pendugaan Kandungan Karbon Pada Tegakan Akasia (Acacia
mangium) dan Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) Di Lahan
Reklamasi Pasca Tambang Batubara Arutmin Batulicin, Kalimantan Selatan.
Dariah.,A1, A.
Abdurachman1, dan D. Subardja2. 2010. Reklamasi
Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian. Reclamation of Ex-Mining Land for
Agricultural Extensification. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010.
ISSN 1907-0799.
David.,D (2013). Reklamasi Tambang.
Neraca. www.ima-api.com/index. php.723%3 Thursday,
07 February 2013 08:19 David Dwiarto.
E-mail Print PDF. JAKARTA. Masalah reklamasi
atau pengembalian fungsi awal lahan
yang telah digunakan. Thursday, 07 February 2013 08:19.
Djati Murjanto. 2011. Karekterisasi dan Perkembangan Tanah Pada Lahan
Reklamasi Bekas Tambang Batubara PT. Kaltim Prima Coal. Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Haryono dan S.
Soemono. 2009. Rehabilitasi tanah tercemar mercuri (Hg) akibat penambangan emas
dengan pencucian dan bahan organik di rumah kaca. Jurnal Tanah dan Iklim.
Hasan Zainuddin.2007. Tambang Batubara Sembahkan
Surga Atau Neraka. hasanzainuddin.wordpress.com/2007/11/03/43/3
Nov 2007 –, 25/1 (ANTARA).
Karwan,
2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta
Latifah.,S. 2003. Kegiatan
Reklamasi Lahan Pada Bekas Tambang Program Ilmu Kehutanan Jurusan Manajemen
Hutan. Universitas Sumatera Utara.
Lubis, M.1997.
The Development of Indonesia’s Coal Supply Industry Trade and
Investment Issues. Paper Presented at
APEC Coal Trade and Investment Liberalization and Facilitation Workshop, August
5, Jakarta.
Margarettha.
2010. Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang
Batubara Dengan Pupuk Hayati Mikoriza Sebagai Media Tanam Jagung Manis The Used
of Ex-Coal Mining Soil With Mycorrhiza Biofertilizers To Growth Sweet Corn. J. Hidrolitan., Vol 1 : 3 : 1 – 10, 2010. ISSN
2086 – 4825
Matthew L.
Carlson1, Lindsey A. Flagstad1, Franc¸ ois Gillet2,3 and Edward A. D.
Mitchell3,4,5*Community development along a proglacial chronosequence: are
above-ground and below-ground community structure controlled more by biotic
than abiotic factors. Journal of Ecology 2010, 98, 1084–1095. British Ecological Society.
Munir. 1996.
Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya, Jakarta.
Mursyidin, D.H.
2006. Menanggulangi Pencemaran Logam Berat. Biologi FMIPA
Unlam, Banjar Baru. Yayasan Cakrawala Hijau
Indonesia.
_____________. 2009.Memperbaiki
Lahan Bekas Tambang dengan Mikroorganisme. Biologi FMIPA Unlam, Banjar Baru.
Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia.
Notohadiprawiro,T.1999.Tanah
dan Lingkungan. Diterbitkan oleh Dit-Jen Dikti, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia,Jakarta.
________________.
2006. Pengelolaan Lahan dan Pasca Penambangan, Departemen Ilmu Tanah,
Universitas Gajah Mada.
Peacock.,K.W.
2008. Natural Resources and Sustainable
Development Foreword by Jeremy Carl Research Fellow,Program on Energi and Sustainable Development Stanford
University.
Puslitanak.
1995. Studi Upaya Rehabilitasi Lingkungan Penambangan Timah (Laporan Akhir
Penelitian). Kerjasama antara Proyek Pengembangan Penataan Lingkungan Hidup
dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Qomariah
R. 2003. Dampak kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) batubara terhadap
kualitas sumberdaya lahan dan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banjar, Provinsi
Kalimantan Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. JMHT Vol. XVI, (2): 63–72, Agustus 2010 Artikel Ilmiah ISSN: 2087-046972
Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas
Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Rensi
Febreni. 2012 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Pengelolaan
Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. March 22, 2012.
Sabtanto Joko Suprapto.2010. Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan Aspek
Konservasi Bahan Galian. Kelompok Program
Penelitian Konservasi – Pusat Sumber Daya Geologi.
Santoso, E.,
Pratiwi, M. Turjaman, C.H. Siregar, A. Subiakto, R.S.B. Irianto, R.R. Sitepu, dan
Anwar. 2008. Input teknologi untuk rehabilitasi lahan pasca penutupan tambang (mine
closure). Makalah disampaikan dalam Seminar dan Workshop Reklamasi dan
Pengelolaan Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang.
LPPM-IPB. Bogor, 22 Mei 2008.
Setiadi, Y.
2004. Arbuscular Mycorrhizal Inoculum Production. Dalam prosiding Teknologi
Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian,
Perkebunan, dan Kehutanan. Asosiasi Mikoriza Indonesia-Jawa Barat. Bandung.
Simarmata,T. 2005.
Revitalisasi Kesehatan Ekosistem Lahan Kritis dengan Memanfaatkan Pupuk
Biologis Mikoriza dalam Percepatan Pengembangan Pertanian Ekologis di
Indonesia. Seminar Nasional dan Workshop Cendawan Mikoriza. Universitas Jambi.
Jambi.
Sitorus, M. 2003.
Pengaruh Pemberian Batu Fosfat Alam dan Mikoriza Vesikular Arbuskular Terhadap
Ketersediaan dan Konsentrasi P daun Jagung pada Ultisol. Skripsi. Fakultas
Pertanian Universitas Jambi. Jambi.
Sitorus, S.R.P.
1998 . Evaluasi Sumberdaya Lahan, Penerbit Tarsito, Bandung.
Sitorus, S.R.P.,
E. Kusumastuti, dan L. Nurbaeti Badri. 2008. Karakteristik dan teknik rehabilitasi
lahan pasca penambangan timah. Jurnal Tanah dan Iklim (27):57- 74.
Soemarno., W.
S. 2006. Pertambangan Sebagai Aset Bangsa Indonesia. Indonesian
Journal For Sustainable Future Vol. 2 No. 4 Desember 2006.
Soemarwoto., O.
1992. Peranan hutan tropik dalam hidro-orologi, pemanasan global dan keanekaan
hayati. Di dalam Lubis Mochtar, editor. MelestarikanHutan Tropika:
Permasalahan, manfaat dan kebijakannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Subowo G. 2010.
Penambangan Sistem Terbuka Ramah Lingkungan dan Upaya Reklamasi Pasca Tambang
Untuk Meperbaiki Kualitas Sumberdaya Lahan dan Hayati Tanah. Jurnal
Sumberdaya Lahan Vol. 5 No. 2, Desember 2011. ISSN 1907-0799
Tala’ohu,
S.H., S. Moersidi, Sukristiyonubowo, dan S. Gunawan. 1995. Sifat fisikokimia tanah
timbunan batubara (PT BA) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan
dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Buku IV. Bidang
Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat. Puslitbangtanak. http://agribisnis.deptan.go.id
/download/
layanan_informasi/sekretariat/jurnal_sumberdaya_lahan_vol._4_no.1_juli_2010.pdf. ISSN 1907-0799
Turjaman,
Maman., Yana Sumarba. Winarto. Erdy Santoso. 2005. Prospek Aplikasi Teknologi
Cendawan Ektomikoriza (ECM) untuk Mempercepat Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Tergredasi. Seminar Nasional dan Workshop Cendawan Mikoriza. Universitas Jambi.
Jambi.
tetap semangat boss...
ReplyDeleteSAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259
ReplyDelete