Pembangunan Berkelanjutan di Bidang Pertanian

 on Monday 12 January 2015  

PENDAHULUAN
a. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability Development) Menurut John Elkington, sustainability (keberlanjutan) adalah keseimbangan antara people-planet-profit, yang dikenal dengan konsep Triple Bottom Line (TBL). Sustainability terletak pada pertemuan antara tiga aspek, people-sosial; planet-environment; dan profit-economic. Maka menurut Elkington, perusahan harus bertanggung-jawab atas dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan-hidup. Selanjutnya terdapat dua jenis keberlanjutan menurut Dunphy et al., (2000) yakni ecological sustainability, human sustainability (keberlanjutan manusia). Keberlanjutan ekologi mencakup disain organisasi yang dapat memberikan kontribusi kepada sustainable economic development (pembangunan ekonomi yang berkelanjutan), perlindungan terhadap lingkungan hidup, dan pembaharuan biosphere (biosfir = permukaan bumi dan atmosfir yang ditinggali mahluk hidup). Keberlanjutan manusia adalah meningkatkan kemampuan dan keahlian manusia untuk kinerja perusahaan yang tinggi dan berkelanjutan serta untuk kesejahteraan sosial(well-being) dan ekonomi masyarakat dan keberlanjutan ekologi. Sebuah organisasi yang berkelanjutan berarti organisasi yang menjalankan kegiatan dengan memahami kebutuhan dan kepentingan pihak lain (kelompok masyarakat, lembaga pendidikan dan agama, pekerja, dan masyarakat umum), serta meningkatkan jaringan kerjasama yang mempersatukan mereka semua. Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa aspek yang harus tercapai dalam keberlanjutan adalah kesejahteraan ekonomi, sosial, dan pelestarian serta peremajaan lingkungan hidup. Dengan tercapainya sustainability berarti generasi mendatang minimal akan mendapat kesempatan yang sama untuk memanfaatkan sumber daya yang ada seperti kita saat ini. Akan lebih baik lagi jika bisa mempunyai kesempatan yang lebih besar dibandingkan kita sekarang. Hal ini akan tercapai jika sumber daya alam masih cukup tersedia atau idealnya bertambah. Sedang sumber daya manusia menjadi makin berkualitas oleh karena pengembangan SDM, dan pada akhirnya generasi mendatang dapat mencapai kesejahteraan seperti kita saat ini. Adapun aspek penting yang ditambahkan oleh Dunphy, yaitu peningkatan well-being dari manusia kedalam sustainability. Maka pembangunan manusia seutuhnyalah yang diharapkan dalam sustainability (Arisyono, 2009) b. Pembangunan Berkelanjutan Bidang Pertanian Pertanian Berkelanjutan. Menurutnya sebelum kita lebih jauh meninjau konsep pertanian berkelanjutan, ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu konsep Pembangunan berkelanjutan/ Pembangunan lestari (Sustainable Development). Menurut World Conversation Strategy 1980, pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan mereka (Anon, 1990). Menurut TAC/CGIAR (1988), Pertanian Berkelanjutan adalah keberhasilan mengelola sumberdaya untuk pertanian dalam memenuhi perubahan kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumber daya alam (Rachman Sutanta, 2008). Pertanian merupakan bidang yang sangat penting untuk menunjang kehidupan umat manusia. Perkembangan pertanian diawali dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat prasejarah, yaitu perubahan dari budaya food gathering (berburu dan meramu) menjadi food producing (bercocok tanam). Sejak periode bercocok tanam tersebut, bidang pertanian selalu mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Bahkan sejak revolusi industri di Inggris akhir abad ke-18, industri pertanian, termasuk juga industri pengolahan hasil pertanian dan industri pangan, berkembang dengan pesat. Perkembangan bidang pertanian yang begitu pesat, ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri. penerapan pertanian konvensional yang selama ini dilakukan antara lain: 1. Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor 2. Penurunan kesuburan tanah 3. Hilangnya bahan organik tanah 4. Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah 5. Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida, limbah domestik 6. Eutrifikasi badan air 7. Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar 8. Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman lokal Penerapan pertanian konvensional pada awalnya mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pangan secara nyata, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Tetapi ternyata diketahui kemudian efisiensi produksi semakin lama semakin menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan. Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, para pakar mengeluarkan gagasan mengenai pertanian berkelanjutan. Dengan konsep pertanian berkelanjutan diharapkan sistem pertanian dapat bertahan sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989). Sedangkan Thrupp (1996) menjelaskan pertanian perkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggungjawabkan Dalam pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa petanian berkelanjutan bertumpu pada 3 pilar, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Achmad-Suryana (2005) menghubungkan ketiga pilar tersebut menjadi sebuah diagram Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan, seperti yang terdapat dalam Gambar 1. Mengamati Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan pada Gambar 1, sesungguhnya ada salah satu pilar yang tertinggal, yaitu Dimensi Teknologi. Teknologi mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Teknologi berperan dalam menjaga ekologi agar dapat digunakan secara optimal pada saat ini, tetapi juga tetap memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Teknologi juga sangat berperan dalam Dimensi Ekonomi, terutama untuk menciptakan efisiensi produksi, serta meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan laba hasil pertanian (Sri Handayani dkk, 2011) Pada dasarnya pembangunan berkenjutan pada bidang pertanian adalah kembali ke alam dan tidak merusak, idak mengubah, serasi selaras dan seimbang serta mempunya kesadaran terhadap lingkungan, yang mana harus tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah alamiah. apabila manusia mengingkari kaidah-kaidah alamiah, dalam jangka pendek dampak tidak dirasan, tetapi dalam jangka panjang akan muncul dampak, terutama terhadap lingkungan yakni kerusakan lingkungan bencana banjir. Kita harus meyakini bahwa hukum alam milik Allah SWT semata, manusia hanya sebagai penikmat saja, serta berkewajiban untuk menjaga dan melestarikannya. Konsep pembangunan berkelanjutan menginginkan sumberdaya alam yang ada sekarang dapat dilestarikan dan bukan hanya untuk kebutuhan generasi saat ini saja tapi juga memperhatikan bagaimana kebutuhan generasi yang akan datang. Apakah konsep pembangunan berkelanjutan pada sektor pertanian dapat pertahankan?, mengingat banyaknya permasalahan-permasalahan yang dihadapi, diantaranya : 1. Kondisi Lahan Pertanian Pesatnya laju pertumbuhan ekonomi, terutama di pulau Jawa dan Sumatera, menyebabkan berubah fungsinya lahan – lahan pertanian subur di kedua pulau tersebut. menjadi non pertanian, menyebabkan semakin sempitnya basis produksi pertanian, sedangkan lahan bukaan baru di luar Jawa mempunyai kesuburan yang relatif rendah. Demikian pula, ketersediaan sumber daya air untuk pertanian juga telah semakin langka. Dalam kaitan ini sektor pertanian menghadapi tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan dan air secara lestari dan mengantisipasi persaingan dengan aktifitas perekonomian dan pemukiman yang terkonsentrasi di Pulau Jawa. Menurut Heru dkk (1995) bahwa kehilangan atau berubah fungsinya lahan-lahan produktif untuk pertanian yang ada dipulau Jawa menjadi jalan raya, bangunan perumahan dan lain-lain mencapai 100.000 Ha pertahun. Menurut Arif (2012), Laju kehilangan lahan sawah di Indonesia mencapai 110.000 Ha pertahun, sementara itu kemampuan mencetak lahan baru hanya mencapai 45.000 Ha pertahun. Kementerian Pertanian memprediksi, apabila hal ini terus berlanjut, maka tahun 2015 akan terjadi defisit kebutuhan luas lahan panen seluas 730.000 Ha (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Dengan kondisi lahan yang demikian sangat mengkhawatirkan ketahanan pangan di Indonesia, karena besarnya kehilangan lahan pertanian produktif di pulau jawa dapat mengurangi produksi sektor pertanian terutama beras, dengan asumsi bahwa produksi padi 1,23 kw/Ha (BPS RI 2012) maka dengan adanya kehilangan lahan produktif sebesar 110.000 Ha/tahun maka indonesia akan kehilangan produksi padi sebesar 135,300 kw/tahun, Lebih dari 24 tahun menunggu, akhirnya swasembada beras tercapai juga. Swasembada tahun 2008 ini berbeda dibandingkan tahun 1984 karena swasembada kali ini tanpa sedikit pun dibarengi impor beras. Lain cerita pada 1984, di mana swasembada masih dibarengi dengan impor beras 414.300 ton. Mengapa kita bisa swasembada beras? Kebijakan pemerintah Republik Indonesia pada sektor pertanian mencanang program intensifikasi usahatani, khususnya padi sebagai makanan pokok dengan mendorong pemakaian benih varietas unggul, pupuk kimia dan obat-obatan pemberantas hama penyakit, kebijakan pemerintah saat itu memang secara jelas merekomendasikan penggunaan energi dari luar, yang dikenal dengan istilah paket Panca Usahatani yang salah satunya menganjurkan pemakaian pupuk kimia dan pestisida. Kebijakan ini juga didukung dengan pemberian subsidi harga pupuk dan obat-obatan, sehingga sangat terjangkau oleh petani-petani kecil. Pupuk kimia dan pestisida sangat diyakini sebagai jaminan keberhasilan produksi usahatani, pupuk kimia dan pestisida merupakan sarana produksi yang utama bagi petani dan apabila keberadaannya hilang, atau harganya melonjak dipasaran maka petani tidak bisa tanam, sehingga harganya disubsidi oleh pemerintah sampai 80%, distribusinyapun diaturkan dengan sangat rapi oleh pemerintah pusat. Dengan kondisi yang demikian tercapailah swasembada beras 1984 dan 2008, namun demikian apakah swasembada beras tersebut masih bisa dipertahankan untuk masa yang akan datang, karena pada tahun 1984 dan 2008 indonesia mengalami swasembada beras, tapi sekarang malah mengimpor beras ? hal ini disebabkan lahan-lahan produktif sudah mulai berkurang dan lahan-lahan produktif dipulau jawa sebagai sentra produksi padi menujukan indikasi kuat adanya penurunan produktivitas, sawah-sawah mengalami kejenuhan berat atau pelandaian produktivitas karena pemakaian pupuk kimia dan obat-obatan yang sudah malapaui ambang batas normal. 2. Kebutuhan pangan Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta lebih dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang semakin membaik, menyebabkan permintaan pangan bertambah dalam jumlah, mutu dan keragamannya. Sementara, pertumbuhan kapasitas produksi pangan domestik menghadapi hambatan, karena adanya kompetisi pemanfaatan lahan, dukungan infrastruktur pangan yang kurang memadai, agroekosistem yang tidak sesuai, serta iklim usaha yang kurang kondusif. Kapasitas produksi yang tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan kebutuhan pangan, bisa mengakibatkan impor pangan. Kebijakan impor pangan yang meningkat, membawa konsekuensi stabilitas ketersediaan pangan menjadi rentan, karena bergantung pada kebijakan ekonomi negara lain. Hal ini menjadi penyebab adanya ancaman kemandirian pangan nasional. Pada tataran mikro, kemandirian pangan akan terkait dengan besarnya proporsi masyarakat yang miskin dan rentan mengalami kerawanan pangan. Kerawanan pangan dapat berakibat pada rendahnya status gizi dan dalam keadaan yang lebih parah dapat menurunkan kualitas fisik dan intelegensia kelompok masyarakat yang bersangkutan. Penduduk yang sangat rawan pangan di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu mencapai 35,71 juta atau 15,34% tahun 2010. a) Situasi Pangan Global Situasi pangan global dewasa ini ditandai dengan peningkatan perkiraan produksi serealia dunia tahun 2012 sebesar 2,42 milyar ton atau naik 3,2 persen dari tahun 2011. Produksi gandum global diperkirakan turun sebesar 2,9 persen, karena kurang baiknya produksi di Federasi Rusia, China dan India. Sebaliknya, untuk beras dan jagung mengalami kenaikan masing-masing sebesar 7,3 persen dan 2,2 persen. Kenaikan produksi jagung disebabkan karena kenaikan produksi di Brasil. Sedangkan untuk beras, akibat membaiknya prospek produksi padi di Asia, terutama China dan Thailand. Perkiraan konsumsi serealia tahun 2011/12 sedikit naik ketingkat 2.38 milliar ton, atau naik 2.1 persen dari tahun 2010/11. Terjadinya kekeringan parah yang melanda hampir separuh kawasan pertanian di Midwest Amerika, akan mempengaruhi situasi pangan global dunia, termasuk Indonesia. Laporan dari Departemen Pertanian Amerika menyebutkan, produksi jagung akan turun dari 372,2 juta ton tahun lalu menjadi 330 juta ton pada tahun 2012. Produksi Kedelai turun dari 81,25 juta ton menjadi 76,25 juta ton. Produksi gandum tidak terganggu tetapi harganya naik, karena produsen pakan ternak yang menggunakan jagung dan bungkil kedelai akan mengalihkan bahan baku ke gandum. Kekeringan juga dialami Rusia, sehingga produksi gandumnya anjlok 3 juta ton. Kondisi tersebut akan mempengaruhi harga serealia dan biji-bijian di pasar internasional. Harga jagung melonjak sekitar 50 persen, kedelai naik 25 persen dan harga gandum juga akan merambat naik. b) Situasi Pangan Nasional Sampai saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional melalui pencapaian swasembada pangan lima komoditas strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula, belum memperlihatkan hasil yang optimal. Situasi tersebut tercermin dalam tingkat ketersediaan beberapa pangan komoditas pangan domestik yang masih tergantung pada impor, yaitu kedelai sekitar 70 persen, gula sekitar 54 persen, dan daging sapi sekitar 20 persen. Untuk beras dan jagung, impornya tidak terlalu besar yaitu hanya sekitar 11 persen untuk jagung dan 5 persen untuk beras. Meskipun demikian, melalui program peningkatan ketahanan pangan nasional tahun 2012, produksi komoditas sumber pangan karbohidrat strategis yang meningkat adalah padi sebesar 2,74 persen dan jagung sebesar 7,38 persen, sedangkan kedelai menurun 8,24 persen. Sementara itu, pangan sumber protein hewani yang meningkat, adalah daging sapi sebesar 6,67 persen dibandingkan dengan tahun 2011. Produksi dan pertumbuhan masing-masing komoditi pangan strategis selama periode 2008-2012 disajikan pada Tabel dibawah ini. Sedangkan pemenuhan kebutuhan gandum seluruhnya diimpor dan susu masih diimpor sekitar 72 persen. Nilai impor buah-buahan dan sayuran meningkat tinggi, yaitu masing–masing sebesar 22, 91 persen dan 29,82 persen per tahun selama 2008-2011. Tabel : Perkembangan Produksi Pangan Strategis Tahun 2008 - 2012 (dalam Juta ton) Sumber: Badan Pusat Statistik, Keterangan: 1) data Ditjen Perkebunan, angka 2012 dihitung dari taksasi Maret 2012, 2) angka ramalan 1 BPS, 3) Data Ditjen Peternakan, angka 2012 merupakan angka proyeksi. Pada sisi lain, dukungan infrastuktur untuk peningkatan produksi pangan, terutama ketersediaan jaringan irigasi dan alih fungsi lahan, mengkhawatirkan. Hasil audit Ditjen Sumber Daya Air (SDA) tahun 2010 menunjukkan bahwa kondisi jaringan irigasi primer dan sekunder yang dikelola oleh pemerintah pusat yang kondisinya dalam keadaan baik sebesar 54 persen, sedangkan yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing hanya sebesar 39 persen dan 48 persen. Laju alih fungsi lahan sawah untuk penggunaan non pertanian juga masih cukup tinggi, yaitu sekitar 100.000 ha pertahun. Program peningkatan produksi pangan juga menghadapi kendala pemanfaatan lahan, yaitu makin terbatasnya pemilikan lahan petani di perdesaan. Dilaporkan selama tahun 1993–2003 jumlah petani gurem (luas garapan < 0.5 ha) meningkat dari 10.7 juta menjadi 13.3 juta KK (Sensus Pertanian, 1993, 2003). Para petani gurem mempunyai aksesibilitas yang terbatas pada sumber permodalan, teknologi, dan sarana produksi, sehingga sulit meningkatkan efisiensi dan produktivitas tanpa difasilitasi pemerintah. Pada tataran mikro (tingkat rumah tangga), masih tingginya penduduk yang miskin merupakan ancaman yang dapat memperlemah kemandirian pangan masyarakat. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Juli 2012 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia pada bulan Maret 2012 sebesar 29,13 juta (11,13 persen), yaitu di perkotaan sebesar 10,65 juta (9,23 persen) dan di perdesaan 18,48 juta (15,12 persen). c) Stagnasi Produksi Keseimbangan permintaan dan penawaran komoditas pangan menjadi indikator penting dalam perencanaan kebutuhan pangan masyarakat. Laju peningkatan kebutuhan pangan, untuk beberapa komoditas, lebih cepat dari laju peningkatan produksi. Kapasitas produksi pangan terbatas karena produktivitas tanaman di tingkat petani pada beberapa komoditas pangan relatif stagnan, bahkan situasi terakhir, produktivitas kedelai dan gula cenderung menurun. Stagnasi produktivitas antara lain disebabkan oleh lambatnya penemuan dan pemasyarakatan teknologi inovasi, serta rendahnya insentif finansial untuk menerapkan teknologi secara optimal. Melemahnya sistem penyuluhan pertanian juga merupakan penyebab lambatnya adopsi teknologi oleh petani. Peningkatan kapasitas kelembagaan petani, serta peningkatan kualitas penyuluhan merupakan tantangan pembangunan ketahanan pangan ke depan. Kapasitas produksi pangan yang terbatas, juga dipengaruhi oleh kerusakan jaringan irigasi di sentra-sentra produksi pangan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena dukungan operasional dan pemeliharaan yang kurang memadai, terbatasnya tambahan investasi infrastruktur sumber daya air baru, seperti waduk dan jaringan air, kerusakan di daerah tangkapan (catchment area), alih fungsi lahan sawah, serta pengaruh dampak perubahan iklim yang ekstrem (climate change). Kondisi tersebut diperparah lagi karena masih terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang tinggi, terutama pada lahan sawah, sehingga menimbulkan kerugian investasi yang sudah dibangun oleh pemerintah dan mendorong terjadinya degradasi agrosistem pertanian Di sisi ketersediaan pangan, adanya ketergantungan impor yang besar, berpotensi membahayakan stabililitas ketersediaan dan harga pangan domestik. Untuk komoditas pokok dan strategis seperti beras, gula, jagung, kedelai mekanisme tata niaga tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada mekanime pasar bebas. Krisis kedelai memperlihatkan bahwa terlalu menggantungkan pemenuhan kebutuhan pokok pada produk impor merupakan kebijakan yang rentan. Krisis yang sama sewaktu-waktu dapat berulang, dengan tingkat bahaya yang lebih besar atau lebih luas, terutama pada komoditas yang ketergantungan tinggi seperti gandum, gula, susu, kedelai atau jagung. Pada tingkat mikro, adanya kesenjangan angka kemiskinan di pedesaan dan di perkotaan, antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat pendidikan penduduk pedesaan yang cenderung lebih rendah dari penduduk perkotaan; sebagian besar mata pencaharian penduduk pedesaan adalah buruh tani atau petani yang mengelola lahan dengan luasan lahan yang kecil; serta terbatasnya fasilitas sarana dan prasarana ekonomi dan sosial seperti transportasi, komunikasi dan kesehatan. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan penduduk, pendapatan, tren diversifikasi dan preferensi masyarakat, perubahan harga dan areal yang tersedia, telah dilakukan proyeksi permintaan tahun 2050, yaitu untuk beras sebesar 48,18 juta ton (1,3 kali tahun 2011), jagung 24,65 juta ton (1,4 kali tahun 2011), kedelai 3,04 juta ton (3,9 kali tahun 2011), dan gula 3,96 juta ton (1,5 kali tahun 2011). Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik tersebut, Indonesia perlu meningkatkan luas baku lahan sawah dari 7,89 juta ha (tahun 2010) menjadi 11,07 juta ha (tahun 2050), atau diperlukan tambahan sawah kumulatif seluas 6,08 juta ha. Kebutuhan sawah yang tinggi, hanya bisa dipenuhi dengan pembangunan pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa, yaitu di Sulawesi, Kalimantan, dan Indonesia timur. Pembangunan sawah baru di luar Jawa, disamping membutuhkan investasi yang besar, juga memerlukan petani yang andal. Apabila berbagai tantangan makro dan mikro tersebut tidak diselesaikan, merupakan ancaman terhadap kemandirian pangan, yang berpotensi berdampak pada terjadinya krisis pangan di masa mendatang. d) Ancaman Krisis Pangan Program swasembada pangan 5 komoditas strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula, belum berjalan optimal. Situasi tersebut tercermin dari adanya ketergantungan impor pangan, antara lain pada kedelai sebesar 70 persen, gula 54 persen, dan daging sapi 20 persen. Namun demikian, produksi komoditas padi dan jagung mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 2,71 persen dan 7, 38 persen. Sedangkan untuk komoditas kedelai mengalami penurunan sebesar 8,4 persen. Adapun untuk sumber protein hewani meningkat, yaitu daging sapi 6.67 persen dibandingkan dengan tahun 2011. Peningkatan produktivitas tanaman di tingkat petani pada berbagai komoditas pangan relatif rendah dan bahkan untuk kedelai cenderung menurun. Kapasitas produksi terbatas, karena petani menghadapi berbagai kendala dan masalah dalam berusaha tani, terutama disebabkan : (a) lambatnya penemuan dan pemasyarakatan teknologi inovasi; (b) rendahnya insentif finansial untuk menerapkan teknologi secara optimal; (c) melemahnya sistem penyuluhan pertanian sehingga adopsi teknologi lambat; (d) ketidakpastian penyediaan air untuk produksi pangan karena rusaknya lebih dari 50 persen prasarana pengairan; (e) terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian; (f) meningkatnya jumlah petani gurem (luas garapan < 0.5 ha) dari 10.7 juta menjadi 13.3 juta kepala keluarga. Berdasarkan proyeksi kebutuhan pangan tahun 2010-2015, upaya peningkatan produksi untuk memenuhi ketersediaan pangan diperkirakan meningkat sekitar 1,3-1,5 kali dibandingkan tahun 2011. Bahkan untuk kedelai meningkat sampai 8,6 kali. Berbagai masalah dan tantangan tersebut, apabila tidak segera dipecahkan secara tepat dan terencana bisa berubah menjadi ancaman krisis pangan di masa depan. e) Langkah Antisipasi Menghadapi ancaman krisis dalam kemandirian pangan, diperlukan langkah antisipasi yang komprehensif. Adapun kebijakan tersebut harus diorientasikan pada beberapa hal. 1) pengembangan komoditas strategis harus terpadu, konsisten dan berkelanjutan, dengan lebih memperhatikan peningkatan produktivitas dengan peningkatan adopsi teknologi unggul oleh petani, peningkatan kualitas penyuluhan dan penguatan kelembagaan petani, perluasan areal tanam dengan pencetakan lahan sawah baru dan pemanfatan lahan kering dan peningkatan intensitas pertanaman, aspek distribusi pangan dan perdagangan, serta aspek tata niaga dan harga pangan. 2) stabilitas harga pangan strategis harus dijaga melalui penguatan pemantauan harga beberapa pangan pokok dan strategis, khususnya pada bulan-bulan tertentu saat produksi menurun dan saat kebutuhan meningkat, atau pada musim panen. Apabila terjadi gejolak harga yang meresahkan masyarakat, pemerintah harus melakukan tindakan intervensi untuk menstabilkan kembali pada tingkat yang dapat diterima. 3) Ketiga, melindungi pasar domestik untuk komoditas pangan strategis terhadap praktek perdagangan internasional yang tidak adil, dengan kebijakan promosi, sepeti subsidi produksi dan insentif harga, serta kebijakan proteksi seperti pengenaan tarif, pengenaan kuota dan non-tarif. 4) Keempat, percepatan diversifikasi konsumsi pangan melalui pengembangan pangan lokal spesifik wilayah dan pengembangan bisnis pangan berbasis teknologi pangan lokal (Badan Intelijen Negara, 2012). 3. Pola Konsumsi Pangan Pokok Indonesia telah menyatakan komitmen untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi kela-paran, kekurangan gizi serta kemiskinan di dunia. Dalam Millenium Development Goals (MDGs) , ditegaskan untuk mengurangi angka kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015. Keta-hanan pangan yang dibangun di Indonesia, disamping sebagai prasyarat untuk memenuhi hak azasi pangan masyarakat juga merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu bangsa. (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Pembangunan ketahanan pangan menuju ke-mandirian pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara ber-kelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu. Indonesia dalam pemenuhan konsum-si masyarakat menghadapi tantangan cukup besar karena jumlah penduduknya yang cukup besar. Pada tahun 2010 diperkirakan jum-lah penduduk Indonesia sekitar 235 juta jiwa dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penduduk yang besar ini akan berdampak tidak hanya pada aspek pendidikan, lapangan pekerjaan dan yang utama adalah pangan. Ka-rena pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan setiap hari. Sering terjadi gejolak politik karena dipicu oleh kelangkaan dan naiknya harga pangan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pangan bukan sekedar komoditas ekonomi tetapi juga menjadi komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas (Menko Perekonomian, 2005) Produksi pangan memang mengalami peningkatan, antara lain ditunjukkan dengan peningkatan produksi padi pada kurun waktu 2004-2009 dari 54,1 ribu ton menjadi 63,8 juta ton tahun 2009 atau naik sebesar 5,83%. Pencapaian tersebut telah menjadikan Indonesia berswasembada beras (Kementerian Pertanian, 2010). Namun demikian tantangan peningkatan produksi pangan (khususnya padi) ke depan nampaknya masih mengalami kesulitan, karena berbagai faktor, diantara-nya : 1). Penurunan luas baku lahan sawah, 2) Penurunan kesuburan lahan, 3). Penurunan kualitas dan luas layanan sistem irigasi, 4). Lambannya adopsi teknologi petani, 5). Pe-ningkatan jumlah petani gurem, dan 7). Masih tingginya kehilangan hasil (Simatupang dan Maulana, 2006; Badan Litbang Pertanian, 2005; Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Selain hal tersebut, adanya pengaruh perubahan iklim global antara lain berdampak pada menyebarnya serangan OPT, bergesernya pe-riode waktu musim kering dan basah, kerusa-kan lahan dan tanaman juga berpengaruh pada produksi pangan (Kementerian Pertanian, 2010). Disisi lain, pelaksanaan program di-versifikasi atau penganekaragaman pangan di Indonesia telah mempunyai dasar hukum yang kuat melalui UU Pangan No. 7 tahun 2006 tentang Pangan, PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dan Perpres No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan ber-basis Sumberdaya Lokal. Kementerian Pertanian yang dituangkan dalam Rencana Strategis 2010-2014 mencanangkan empat target utama diantaranya adalah 1) Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan dan 2) Peningkatan diversifikasi pa-ngan (Kementerian Pertanian, 2009). Makalah ini bertujuan menganalisis sejauhmana pola diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan pokok di Indonesia. Terkait dengan Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan. Disisi lain, upaya pemenuhan konsumsi pangan dihadaplan pada tantangan besar karena jumlah penduduk yang terus meningkat dan terjadinya pergeseran pola pangan pokok. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis sejauhmana pola diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan pokok di Indonesia. Data yang digunakan adalah data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002, 2005 dan 2008, yang dikumpulkan oleh BPS dan diolah oleh Departemen Pertanian serta dari instansi terkait lainnya. Data dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel-tabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa: 1) Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia cenderung pola pangan tunggal yaitu beras. Selain itu pola pangan pokok kedua, yang semula dari umbi-umbian dan jagung bergeser ke terigu dan produknya seperti mie instan, 2). Tingkat konsumsi beras langsung untuk rumahtangga masih tinggi yaitu 104,9 kg/kap/tahun. Untuk pangan pokok lainnya relatif kecil (jagung: 2,9 kg; terigu: 11,2 kg; ubikayu: 12,9 kg; ubijalar: 2,8 kg/kap/tahun), 3) Dari segi diversifikasi pangan dalam konsep Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi beras perlu diturunkan, sebaliknya konsumsi jagung dan umbi-umbian ditingkatkan. Oleh karena itu, diversifikasi pangan termasuk pangan pokok yang telah dicanangkan oleh pemerintah diimple-mentasikan secara konsisten dan berkelanjutan oleh semua elemen masyarakat. Keberhasilan diversifikasi pangan pokok akan mengurangi konsumsi beras, dan pada gilirannya mempermudah pencapaian swasembada beras (Mewa Ariani, 2010). Pola konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia mengalami pergeseran dari pola beragam berbasis sumberdaya lokal men-jadi pola beras dan terigu (termasuk turunannya). Akibatnya tingkat konsumsi beras masih diatas 100 kg/kapita/tahun, sebaliknya untuk pangan lokal seperti jagung hanya 2,9 kg dan umbi-umbian 12 kg/kapita/tahun. Diversifikasi pangan pokok masih belum sesuai dengan pola pangan ideal yang tertuang dalam PPH. Konsumsi dari padi-padian diatas yang dianjurkan, sebaliknya untuk umbi-umbian masih lebih kecil dari yang seharusnya. Pemerintah telah menetapkan kebijakan percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Belajar dari penga-laman pelaksanaan diversifikasi konsumsi pangan selama ini, maka pelaksanaan kebijakan tersebut harus dijadikan sebagai gerakan massa, bukan lagi sekedar program pemerintah, sehingga semua lapisan masyarakat baik di pusat maupun di daerah harus berparti-sipasi dan bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Selain itu perlu dukungan yang kuat dan konsisten dari pemerintah daerah dan DPRD untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Selain beras, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbi-umbian, jagung, sagu dan pisang. Pola pangan pokok yang beragam ini sebetulnya sudah terjadi sejak dahulu, seperti sagu banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Papua dan Maluku, serta jagung dikonsumsi oleh masyarakat di NTT. Namun akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di bidang perberasan secara berkelanjutan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir mengakibatkan pergeseran pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok nasional yaitu beras. Hasil analisis dengan menggunakan data Susenas 1979 (Pusat Penelitian Agro Ekonomi, 1989) dan 1996 (Rachman, 2001) di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) me-nunjukkan bahwa : 1) semua propinsi di Indonesia pada tahun 1979 mempunyai pola pangan pokok utama beras. Pada tahun 1996, posisi tersebut masih tetap, kalaupun berubah hanya terjadi pada pangan kedua yaitu antara jagung dan umbi-umbian; 2) pola tunggal beras pada tahun 1979 hanya terjadi di satu propinsi yaitu Kalsel, maka pada tahun 1996 terjadi di 8 propinsi yaitu Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng (Mewa Ariani, 2010). Ini berarti telah terjadi peningkatan preferensi dan jumlah konsumsi beras yang signifikan di propinsi tersebut, sehingga mampu menggeser peran jagung dan umbi-umbian sebagai pangan pokok. 4. Tingkat Konsumsi Pangan Pokok Beras selain sumber energi dan protein utama dalam pola konsumsi masyarakat, juga sebagai wage goods dan political goods. Banyak kepentingan publik dihasilkan oleh beras, dan beras berperanan dalam ketahanan pangan, stabilitas ekonomi dan lapangan kerja. Sebagian besar masyarakat tetap menghendaki adanya pasokan dan harga beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu dan dengan harga yang terjangkau. Kebijakan pemerintah seperti penetapan harga dasar gabah dan pengendalian harga di tingkat konsumen mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi beras. Walaupun tingkat konsumi beras cenderung menurun, namun volume konsumsi beras masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan umbi-umbian dan jagung. Belum lagi adanya kebijakan program Raskin dalam bentuk beras, yang penyalurannya untuk seluruh masyarakat tanpa memperhatikan pola konsumsi pangan pokok setempat, jelas menyalahi konsep diversifikasi konsumsi pa-ngan yang selama ini juga menjadi program pemerintah. Sebagai gambaran konsumsi beras pada tahun 2008 mencapai 104,9 kg, yang berarti 36,2 kali lebih besar dibandingkan konsumsi jagung ( 2005 : 31,9 kali), daripada konsumsi jagung; 9,4 kali konsumsi terigu dan 8,1 kali konsumsi ubikayu dan 37,5 kali konsumsi ubijalar. Perbedaan yang sangat mencolok ini, mengakibatkan beras sebagai pola pangan po-kok utama di berbagai wilayah dan kelompok pendapatan. Konsumsi beras memang cenderung menurun dari tahun ke tahun, namun tingkat konsumsi tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara lain-nya. Konsumsi beras di Jepang hanya sekitar 60 kg/kapita/tahun, sedangkan di Thailand, China dan India sekitar 100 kg/kapita/tahun. Di Laos dan Myanmar, konsumsi beras masih tinggi yaitu masing-masing sebesar 179 kg dan 190 kg/kapita/tahun. Bukti empiris menunjukkan beras telah menjadi pangan pokok utama dan cenderung tunggal di berbagai propinsi termasuk propinsi yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok sagu, jagung atau umbi-umbian. Pangan lokal telah ditinggalkan oleh masyarakat dan beralih ke pangan nasional berupa beras bahkan ke pangan internasional seperti mie instan. Beras memang mempunyai banyak kelebihan dibandingkan sumber karbohidrat lainnya diantaranya adalah mempunyai cita rasa yang lebih enak, lebih mudah diolah dan komposisi zat gizi lebih baik dibandingkan dengan pangan lokal lainnya. Berkembangnya mie instan sebagai makanan utama setelah beras didorong oleh kebijakan jaman orde baru yang meng”anak-emas”kan terigu selain beras. Adanya kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri yang berlangsung lama dan subsidi harga terigu oleh pemerintah, maka harga terigu menjadi murah (50% lebih rendah dari harga internasional). Selain itu adanya kampanye yang intensif melalui berbagai jenis media seperti media elektronik, product development yang diperluas dengan harga yang bervariasi dan mudah diperoleh, turut mendorong peningkatan partisipasi konsumsi produk gandum terutama berupa mi dan roti. Banyaknya ragam jenis, bentuk dan cara masak komoditas mie, seperti mie basah, mie kuah, mie instant dan produk mie lainnya. Banyak produk mie yang dengan cepat diolah, disajikan dan dikonsumsi dengan kemasan yang bagus dan dengan variasi harga yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan pilihan-pilihan produk mie sesuai dengan kemampuannya. Konsumen produk mie meliputi semua golongan, tidak hanya golongan atas tetapi juga menengah dan bawah. Selain itu mie juga dengan mudah dijumpai di berbagai tempat, tidak hanya di swalayan tetapi juga di pasar tradisional atau warung kecil di pedesaan. di Indonesia, pada kelompok rendah dan menengah, beralihnya pangan dari non terigu ke terigu atau produk olahannya begitu cepat dibandingkan di negara-negara Asia (Mewa Ariani 2010). 5. Produktivitas Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Angka Ramalan (ARAM) I tahun 2012 produksi padi meningkat sebesar 4,31 persen. Produksi padi naik dari tahun lalu 65,76 juta ton gabah kering giling (GKG) menjadi 68,59 juta ton GKG. ARAM I 2012 ini didapat dari penghitungan produksi riil dari Januari-April ditambah angka prediksi produksi dari Mei hingga Desember mendatang. Jadi bukan membuat ramalan untuk seluruh bulan. Prediksi hanya dari Mei sampai Desember, Peningkatan produksi padi tahun ini, dipengaruhi oleh dua hal utama. a. Luas panen tanaman padi 2012 naik 1,80 persen dari tahun sebelumnya menjadi 237,30 ribu hektare. b. Perkiraan peningkatan produktivitas sebesar 2,47 persen menjadi 1,23 kuintal per hektare. Tidak hanya itu, produksi padi diperkirakan meningkat juga akibat adanya panen yang bergeser ke awal tahun ini. "Musim tanam tahun lalu ada pergeseran di akhir tahun, sehingga produksinya masuk dalam hitungan riil Januari-April 2012," katanya. Faktor pendukung kenaikan produksi padi ikut dipengaruhi oleh iklim tahun ini yang diperkirakan bagus. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi iklim ke depan cukup normal, sehingga mendukung masa tanam dan panen padi. peningkatan produksi padi akan membuat surplus hingga akhir tahun sebesar 5,528 juta ton beras. Angka itu memperhitungkan jumlah konsumsi beras sebesar 135,01 kilogram per kapita per tahun. Dengan ARAM 1 ini, jumlah konsumsi beras sebesar 33,035 juta ton, sedangkan yang tersedia mencapai 38,563 juta ton beras. Produksi padi mengalami pasang surut dalam tiga tahun terakhir. Pada 2010 BPS mencatat produksi padi sebesar 66,47 juta ton GKG, turun menjadi 65,76 juta ton GKG pada 2011. Metode penghitungan produksi padi kemudian diubah, ARAM I tidak dirilis Maret tapi diundur pada Juli ini dengan alasan agar penghitungannya juga memasukkan realisasi riil produksi Januari-April. Anggoro menjelaskan ada empat hal utama yang akan dilakukan pemerintah untuk menggenjot produksi padi, yaitu menekan laju konversi lahan sawah, mengurangi serangan Organisme Pengganggu Tanaman, mengurangi tingkat susut produksi saat panen, dan meningkatkan infrastruktur jaringan irigasi sawah. Produksi beras nasional pada Januari-April 2012 sebanyak 7.785.425 ton, dari gabah yang digiling di industri penggilingan padi sebanyak 12.489.125 ton. Produksi beras terbanyak di Provinsi Jawa Timur, yaitu sebanyak 1.701.753 ton dari gabah yang digiling sebanyak 2.716.744 ton. Produksi beras paling sedikit di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebanyak 61 ton dari gabah yang digiling sebanyak 95 ton. Produksi beras nasional pada April 2012 sebanyak 2.339.981 ton, dari gabah yang digiling di industri penggilingan padi sebanyak 3.766.944 ton. Produksi beras terbanyak di Provinsi Jawa Timur, yaitu sebanyak 488.753 ton dari gabah yang digiling sebanyak 780.346 ton. Produksi beras paling sedikit di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebanyak 19 ton dari gabah yang digiling sebanyak 29 ton. Produksi beras nasional pada Mei 2011-April 2012 sebanyak 20.619.985 ton, dari gabah yang digiling di industri penggilingan padi sebanyak 32.873.663 ton. Produksi beras terbanyak di Provinsi Jawa Timur, yaitu sebanyak 4.378.814 ton dari gabah yang digiling sebanyak 6.978.118 ton. Produksi beras paling sedikit di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebanyak 201 ton dari gabah yang digiling sebanyak 311 ton. Populasi industri penggilingan padi sebanyak 182.199 perusahaan/usaha, yang terdiri dari 162.976 perusahaan/usaha penggilingan padi tetap dan sebanyak 19.223 perusahaan/usaha industri penggilingan padi keliling. Populasi industri penggilingan padi terbanyak di Provinsi Jawa Barat, yaitu sebanyak 33.576 perusahaan dan populasi paling sedikit di Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebanyak 15 perusahaan/usaha. Persentase banyaknya beras yang dihasilkan dari gabah yang digiling adalah sebesar 62,28 persen. Persentase terbesar di Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 70,05 persen dan persentase paling kecil di provinsi Bali, yaitu sebesar 58,39 persen (Badan Pusat Statistik, 2012). Memasuki Awal Juli, BPS Menyampaikan angka ramalan (ARAM) I bahwa produksi padi nasional tahun 2012 diperkirakan mencapai 68,59 juta ton GKG atau naik sebesar 2,84 juta ton (4,31%) dibandingkan 2011. Kenaikan produksi tersebut terjadi karena adanya perkiraan peningkatan luas panen seluas 237,30 ribu hektar (1,80%) dan produktivitas sebesar 1,23 kwintal/hektar (2,47%). Kenaikan produksi padi tahun 2012, menurut analisis BPS, berasal dari kenaikan yang relative besar terjadi di Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian mencatat kenaikan produksi terjadi di 26 provinsi, kecuali Riau (-7,33), Banten (0,63%), Jawa Barat (-0,88%), Bali (-0,92), NTB (-0,80%), Gorontalo (-3,54%) dan Papua (-3,63%). Dari 26 yang mencatat pertumbuhan produksi positif, ada 16 provinsi membukukkan peningkatan lebih dari 5%. Yaitu Bangka Belitung (77,63%), Maluku (19.03), NTT (16,00%), Sulawesi Tenggara (11,60%), Jawa Timur (10,56%), Papua Barat (10,46%), DIY (7,88%), Sulawesi Tengah (7,82%) Aceh (7,16%) Kalimantan tengah (7,16%), DKI Jakarta (6,59%), Sumatera Selatan (6,01%), Jambi (5,88%), Jawa Tengah (5,51), Sulawesi Barat (5,51%), dan Sulawesi Selatan (5,24%). BPS memperkirakan, kenaikan produksi terjadi pada subround Januari-April sebasar 1,44 juta ton (4,71%). Perkiraan subround Mei-Agustus sebesar 1,25 juta ton (5,90%), dan perkiraan subround September-Desember sebesar 0,15 juta ton (1,08%) dibanding pada subround yang sama tahun 2011 (year on year). ARAM I adalah angka ramalan pertama yang dihitung berdasarkan realisasi kegiatan produksi periode Januari-April ditambah perkiraan kegiatan produksi yang akan berjalan sepanjang Mei-Desember. ATAP atau angka tetap merupakan angka statistik final berdasarkan realisasi kegiatan produksi selama satu tahun (Januari-Desember). “Alhamdulilah, produksi tahun ini lebih baik dari tahun lalu dan melebihi target produksinya,” ungkap Menteri Petanian Suswono. Untuk diketahui , dalam roadmap (peta jalan) program P2BN (Peningkatan Produksi Berasa Nasional) menuju surplus 10 juta ton pada 2014, Kementerian Pertanian telah menetapkan target pertumbuhan produksi sebesar 2,6% pada tahun 2012. Capaian ARAM I 2012 yang baik menunjukan bahwa program dan kegiatan yang dilakukana telah berjalan sesuai roadmap-nya. Upaya-upayanya yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi padi tahun 2012, antara laian : peningkatan koordinasi dengan provinsi dan kabupaten/kota dalam menggerakkan Dinas Pertanian, Bakorluh dan Bapeluh untuk mengawal jadwal tanam petani, penyedian pupuk, dan penyediaan benih yang bukan saja tergantung pada bantuan, gerakan tanam/panen serta menyisir lokasi yang belum atau terlambat tanam; peningkatan koordinasi dengan provinsi dan kabupaten/kota, petugas pertanian di lapangan seperti penyuluh, mantri tani, dan babinsa dalam menggerakan petani dalam pengendalian OPT selain petugas. POPT serta membentuk dan mengaktifkan regu pengendalian hama, mendukung program spot stop ; mengawal secara intensif carry over SLPTT 2011, CBN, serta kebijakan tahun 2012 dimana pemenuhan benih untuk SLPTT pada lokasi rendah produktivitasnya dan peningkatanya IP (indeks pertanaman); serta melakukan peningkatan koordinasi dengan PU Pengairan sampai tingkat petugas pengairan di tingkat lapangan (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2012) 6. Teknologi Pembangunan Berkelanjutan Sektor Pertanian Pentingnya teknologi dalam pertanian berkelanjutan sebenarnya telah tersurat secara gamblang dalam definisi pertanian berkelanjutan menurut FAO (1989) dengan menyertakan kalimat ”…. tepat guna secara teknis….”. Oleh karena itu, makalah ini akan membicarakan lebih jauh mengenai peran teknologi dalam bidang pertanian untuk mendukung pertanian berkelanjutan, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan nilai tambah, daya saing, dan laba hasil pertanian. a. From Farm to Table Untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, teknologi diperlukan selama budidaya, penanganan pasca panen, dan pengolahan hasil pertanian. Untuk meningkatkan daya saing di mata konsumen dan laba dari produk-produk pertanian, teknologi juga diperlukan selama distribusi dan penjualan (penyajian). Dapat disimpulkan bahwa teknologi diperlukan sejak berada di lahan hingga disajikan di hadapan konsumen (from farm to table). Teknologi tersebut diperlukan untuk mendukung pelaksanaan setiap tahap farm to table, yaitu good farming practices (cara bertani yang baik), good handling practices (cara penanganan hasil panen yang baik), good manufacturing practices (cara pengolahan hasil pertanian yang baik), good distribution practices (cara pengangkutan hasil pertanian yang baik), dan good retailing practices (cara penyajian yang baik untuk konsumen). b. Good Farming Practices Pertanian berkelanjutan telah menjadi dasar penyusunan standar prosedur operasi Praktek Pertanian yang Baik (PPB) atau dikenal pula dengan istilah Good Agricultural Practices (GAP) (Achmad-Suryana, 2005). Menurut Anonim (2004), GAP merupakan rekomendasi yang dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan keamanan tanaman pertanian selama dibudidayakan. Dalam hal ini GAP dapat difokuskan menjadi dasar pelaksanaan Good Farming Practices (GFP). Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik atau bahan baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good Farming Practices adalah hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas (nilai gizi dan keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan. Beberapa tahun belakangan ini, untuk mencapai tujuan Good Farming Practices dikembangkan suatu teknologi rekayasan genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified Organism (GMO). Tanaman hasil rekayasa genetika terbukti mempu menghasilkan hasil panen (buah dan sayur) yang kuantitas, kualitas, dan kontinuitasnya dapat diandalkan. Bahkan buah-buahan yang dihasilkan secara sensoris dapat memenuhi keinginan konsumen. Tetapi sampai saat ini teknologi GMO tersebut masih diperdebatkan, karena sebagian ahli pangan dan kesehatan masih mempertanyakan keamanan produk-produk hasil rekayasa genetika. Hal yang perlu digarisbawahi adalah teknologi rekayasa genetika mampu menjawab tantangan untuk memenuhi keinginan konsumen akan suatu produk pertanian. Jika masih ada yang sebagian ahli yang mempertanyakan keamanannya, maka teknologi rekayasa genetika harus terus dikembangkan untuk menghasilkan produk-produk yang aman secara meyakinkan. Sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan, di dalam Good Farming Practices juga ditekankan pentingnya aspek ekologi, terutama untuk menghindari penurunan kesuburan tanah pertanian. Penggunaan pupuk kimia yang selama ini diterapkan secara nyata telah merusak ekologi tanah, sehingga semakin lama kesuburan tanah semakin berkurang. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik kembali digalakkan. Salah satu kelemahan pupuk organik adalah bentuk dan ukurannya yang tidak teratur, sebab terbuat dari campuran kompos, kotoran hewan ternak, dan bahan lain, sehingga menghambat penerapannya di lapangan. Di sini salah satu peran teknologi menjadi cukup menonjol. Dengan adanya inovasi teknologi, telah diciptakan instalasi mesin Pupuk Organik Granul (POG). Inovasi teknologi ini mampu menjadikan pupuk organik yang tidak bentuk dan ukurannya tidak beraturan menjadi pupuk organik yang berbentuk butiran padat dengan ukuran 2-4 mm pada tingkat kekerasan tertentu, sehingga mempermudah penggunaannya di lapangan. Kesadaran tentang pentingnya pertanian berkelanjutan sudah menjadi trend global. Bahkan akhir-akhir ini negara-negara yang tergabung dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyepakati untuk melakukan pembangunan sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal itu merupakan salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam Pertemuan Tingkat Menteri APEC tentang Ketahanan Pangan yang pertama (The 1st APEC Ministerial Meeting On Food Security) di selenggarakan Nigata, Jepang pada 16-17 Oktober 2010. Pada kesempatan itu disepakati deklarasi tentang ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik atau Nigata Declaration on APEC Food Security yang mana Indonesia berhasil memasukkan dua hal terkait upaya pencapaian Ketahanan Pangan berkelanjutan. Kedua hal itu adalah pentingnya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan pentingnya kerjasama regional dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan darurat di kawasan (Antara, 2010). Langkah kembali kepada sumber daya lokal juga merupakan salah satu penerapan Good Farming Practices. Selama ini, akibat kebijakan era orde baru, tanaman pangan yang digalakkan untuk dibudidayakan hanya padi dan jagung. Tanaman pangan lain, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, umbi-umbian seperti uwi, talas, suweg, garut, ganyong, gadung, pisang, sukun, labu kuning, dan sebagainya menjadi dianggap inferior dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Akibatnya, berbagai tanaman asli nusantara tersebut perlahan-lahan mulai menghilang. Padahal potensi jenis pangan di Indonesia ini sangat menakjubkan, karena telah diidentifikasi, ada 77 macam tanaman sumber karbohidrat, 75 macam sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 226 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah-rempah. Potensi yang melimpah tersebut sama sekali belum dioptimalkan oleh negara. Justru yang terjadi adalah impor bahan pangan, terutama impor tepung terigu untuk keperluan industri dalam negeri. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor pangan terbesar no 2 di dunia dengan nilainya ± Rp 50 triliun atau setara dengan 5 milyar US Dollar (Kompas, 19/06/2010). Oleh sebab itu, alangkah baiknya apabila pertanian di Indonesia kembali membudidayakan potensi pangan nusantara. Setelah sumber daya lokal tersebut kembali digalakkan, selanjutnya inovasi dan teknologi berperan besar dalam mengolah ubi kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lain tersebut menjadi pangan yang setara dengan beras atau tepung terigu. 7. Strategi Pertanian Berkelanjutan Kegagalan pertanian modern memaksa pakar pertanian dan lingkungan berpikir keras dan mencoba merumuskan kembali sistem pertanian ramah lingkungan atau back to nature. Jadi sebenarnya sistem pertaninan berkelanjutan merupakan paradigma lama yang mulai diaktualisasikan kembali menjelang masuk abad ke 21 ini. Hal ini merupakan fenomena keteraturan siklus alamiah sesuai dengan pergantian abad. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk pertanian berkelanjutan adalah sebagai berikut : a. Sistem Pertanian Organik Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Di sisi lain, Pertanian organik meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora, fauna dan manusia. Penggunaan masukan di luar pertanian yang menyebabkan degradasi sumber daya alam tidak dapat dikategorikan sebagai pertanian organik. Sebailknya, sistem pertanian yang tidak menggunakan masukan dari luar, namun mengikuti aturan pertanian organik dapat masuk dalam kelompok pertanian organik, meskipun agro-ekosistemnya tidak mendapat sertifikasi organik. b. Sistem Pertanian Terpadu Menurut Wididana dalam Karwan (2003), mengatakan bahwa ada dua model sistem pertanian terpadu yakni ; sistem pertanian terpadu konvensional dan sistem pertanian terpadu dengan teknologi mikroorganisme efektif. Sistem pertanian terpadu konvensional sudah banyak diterapkan oleh petani kita pada masa lalu, namun sekarang sudah banyak yang ditinggalkan. Model terpadu konvensional misalnya tumpang sari antara peternakan ayam dengan bolong ikan, dimana kotoran yang terbuang dimanfaatkan sebagai pakan ikan, tumpang sari antara tanaman palawija dan peternakan, dimana ; sisa tanaman digunakan sebagai pakan ternak dan kotoran ternakan diamnafaatkan sebagai pupuk kandang. Praktek sistem pertanian terpadu konvensional ini belum tentu merupakan siklus yang berkelanjutan, karena hanya mengandalkan proses dekomposisi biomassa alamiahyang berlangsung sangat lambat, oleh karena itu diperlukan sentuhan teknologi yang mampu mempercepat proses pembusukan dan penguraian bahan-bahan organik menjadi unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman atau hewan. Model sistem terpadu dengan teknologi Mikroorganisme efektif telah dikembangkan dimana; limbah orgasnik dari kotoran ternak dan sisa tanaman difermentasikan dengan teknologi mikroorganisme efektif menjadi pupuk organik permentasi dalam waktu yang cepat, sehingga mudah dan cepat dapat dipergunakan.untuk tanaman, ternak atau ikan (Karwan, 2003). c. Sistem Pertanian Masukan Luar Rendah Sistem ini pada prinsif optimalisasi pemanfaatkan sumberdaya alam lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai macam sistem usahatani yakni tanaman, ternak, ikan, tanah, air, iklim, matahari dan manusia saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar. Pemanfaat input luar sifatnya hanya sebagai pelengkap unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem. Sistem ini bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. Istilah sistem pertanian masukan luar rendah ini lebih populer disebut dengan Low External Input Sustainale Agriculture (LEISA). Metode ini bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadaidalam jangka panjang. Pada prinsipnya produksi yang dihasilkan dari sitem atau dipasarkan harus diimbangi dengan tambahan unsur hara yang dimasukan dalam sistem tersebut. PENUTUP Keberhasilan pembangunan pertanian terletak pada keberlanjutan pembangunan pertanian itu sendiri. Konsepsi pembangunan pertanian berkelanjutan tersebut diterjemahkan ke dalam visi pembangunan pertanian jangka panjang yaitu Terwujudnya sistem pertanian industrial berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan guna menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pertanian dan di implementasikan. Sistem pertanian industrial dicirikan oleh usaha pertanian bernilai tambah tinggi dan terintegrasi dalam satu rantai pasok (supply chai ) berdasarkan relasi kemitraan sinergis dan adil dengan bertumpu pada sumber daya nasional, kearifan lokal serta ilmu pengetahuan dan teknologi berwawasan lingkungan. Sistem pertanian industrial adalah sosok pertanian ideal yang merupakan keharusan agar usaha pertanian dapat bertahan hidup dan tumbuh berkembang secara berkelanjutan dalam tatanan lingkungan persaingan global yang semakin ketat. Sehingga sudah seharusnya negara-negara dunia ketiga untuk mencanangkan program – program unggulan guna mempercepat diseminasi pertanian khususnya Indonesia dengan badan Litbang pertanian sehingga bisa mewujudkan pertanian industrial. Pada hakekatnya, sistem pertanian berkelanjutan sistem pembangunan pertanian berkelanjutan adalah kembali kealam (Back to Nature) yakni sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh pada kaidah-kaidah alamiah. Sistem pertanian berkelanjutan merupakan suatu kegiatan yang didasarkan pada nilai-nilai moral, karena pada dasarnya kita harus menyadari secara mendalam bahwa manusia adalah khalifah diatas permukaan bumi ini sehingga setiap orang akan berinteraksi dengan pertanian dan harus bertanggung jawab dalam interaksinya. Dasar dari kehidupan dibumi ini adalah tanah. Kedudukan manusia berada paling atas kehidupan sebagai khalifah yang harus dapat mempertanggung jawabkan disirnya sebagai makhluk yang paling bemartabat, melalui pola sikap, pola pikir, dan pola bertindak terhadap kehidupan yang lain. Kita hidup didunia ini tidak hanya sendiri, tapi masih ada lagi kehidupan lain, yang kan rusak apabila memutus mata rantainya (ekosistem), bahwa kesejahteraan bukan hanya milik kita pribadi dan sesaat saja, tapi masih ada lagi kehidupan lain yang ingin sejahtera, untuk itu konsep pembangunan pertanian berkelanjutan bisa dikatakan bagaimana mencapai kesejahteraan bersama, agar kehidupan dapat terjaga dan lestari. DAFTAR PUSTAKA Arisyono.2009. Ada Apa di Balik Kampanye Lingkungan. Journal. Achmad Suryana. 2005. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Andalan Pembangunan Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan untuk Mendukung Pembangunan Nasional Tanggal 15 Pebruari 2005 di Universitas Sebelas Maret Solo. Badan Intelijen Negara.2012. Hari Pangan Sedunia: Acaman Krisis Dalam Kemandirian Pangan Indonesia. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi. Departemen Pertanian. Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Padi (Angka Ramalan I). Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Produksi Padi di Prediksi Lampaui Target. Jakarta. Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta. Dexter Dunphy, Jody Benveniste, Andrew Griffiths, dan Philip Sutton, Allen & Unwin, 2000.An introduction to the sustainable corporation” oleh Dexter Dunphy dan Jodie Benveniste, pada: “Sustainability: The Corporate Challenge of the 21st Century”. Heru., S. 1995. Komoditas Unggulan Lahan Pasang Surut Pada Era Perdagangan Bebas dan Pengembangannya. Balittra. Banjarbaru. Imam Supardi. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. P.T. Alumni. Bandung Karden Eddy Sontang Manik. 2009. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta Karwan, A.,Salikin, 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan Kanisius. Jakarta Kathy Wilson Peacock, 2008. Natural Resources and Sustainable Development. Foreword by Jeremy Carl Research Fellow, Program on Energy and Sustainable Development Stanford University. Kementerian Pertanian. 2009. Rencana Strate-gis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta. Kementerian Pertanian. 2010. Kinerja Pemba-ngunan Sektor Pertanian 2009. Jakarta Mewa Ariani. 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras. Prosiding Pekan Serealia Nasional. Jakarta. Rachman Sutanta. 2008. Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan Dalam Menyongsong Pertanian Masa Depan. Bulletin Sri Handayani dan Dimas Rahadian Aji Muhammad. 2011. Inovasi Teknologi Dalam Bidang Pertanian Untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Disampaikan pada Seminar Nasional : Innovation of Information, Communication, and Technology (ICT) for Supporting Sustainable Agriculture. International Association of Students in Agricultural and Related Science (IAAS LC UNS) – Solo, Tanggal 31 Januari 2011
Pembangunan Berkelanjutan di Bidang Pertanian 4.5 5 Unknown Monday 12 January 2015 PENDAHULUAN a. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability Development) Menurut John Elkington, sustainability (keberlanjutan) adalah kesei...


No comments:

Post a Comment