Indikator Kerusakan Lingkungan Sebagai Akibat Pertambangan Batubara

 on Sunday 19 July 2015  

 Indikator Kerusakan Lingkungan Sebagai Akibat Pertambangan Batubara
Hastirullah Fitrah 2014


BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor pertambangan merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional yang terbesar bagi Indonesia termasuk batubara. Total sumber daya batubara di Indonesia tahun 2011diperkirakan mencapai 105 miliar ton, saat ini, 75% dari total produksi batubara diekspor, terutama ke Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Eropa, dan sisanya untuk kebutuhan dalam negeri (ESDM, 2011 dalam Onesimus ; dkk, 2011).
Pertambangan batubara di Indonesia umumnya menggunakan teknik tambang terbuka (open pit mining) yaitu metode penambangan dengan segala aktivitasnya dilakukan diatas atau relatif dekat dengan permukaan tanah. Aktivitas tersebut akan meninggalkan kerusakan lahan berupa lubang-lubang yang besar/perubahan bentang lahan, rusaknya sifat-sifat tanah, hilangnya berbagai jenis flora dan fauna, iklim mikro, fungsi hidrologis, serta sosial ekonomi dan budaya.
Kerusakan lingkungan di Indonesia, sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan, hal ini terlihat dari kondisi lingkungan yang banyak mengalami perubahan, seperti ; perubahan iklim, perubahan fungsi lahan dan perubahan ekosistem. Perubahan-perubahan ini akan menjadi ancaman pada kehidupan makhluk hidup dimuka bumi ini. Menurut Antung (2012) kegiatan penambangan batubara khususnya penambangan terbuka (open pit mining) memiliki potensi merusak lingkungan seperti : perubahan bentangan alam, gangguan pada system
2
aliran air permukaan (Run off) dan air tanah, perubahan sifat fisik tanah ( struktur, tekstur, prositas dan bulk density), sifat kimia tanah (ketersediaan unsur hara, keasaman tanah), sifat biologi tanah (hilangnya makro dan mikroorganisme tanah), kerusakan ekosistem (hilangnya habitat tumbuhan dan satwa, erosi dan sedimentasi serta pencemaran air dan tanah dari air asam tambang.
Berdasarkan hasil survey Environmental Performance Index (EPI) 2012, Indonesia berada di peringkat 74 dengan tren EPI rangking 66 dari 132 negara berwawasan lingkungan, yang didasarkan pada dua tujuan utama dari kebijakan lingkungan, yakni Kesehatan Lingkungan, yang mengukur tekanan lingkungan terhadap kesehatan manusia, dan Vitalitas Ekosistem, yang mengukur kesehatan ekosistem dan sumber daya alam manajemen. EPI mengevaluasi negara dengan 22 indikator kinerja mencakup kategori sepuluh kebijakan yang mencakup aspek dari lingkungan kesehatan dan vitalitas ekosistem. Kategori kebijakan ini meliputi: Kesehatan Lingkungan, Air (efek pada kesehatan manusia), Polusi Udara (efek pada kesehatan manusia), Polusi Udara (efek ekosistem), Sumber Daya Air (efek ekosistem), Keanekaragaman Hayati dan Habitat, Hutan, Perikanan, Pertanian dan Perubahan Iklim & Energi.
Hasil penelitian Universitas Adelaide terbarunya soal lingkungan. Empat negara, yakni Brazil, Amerika Serikat, China, dan Indonesia dinyatakan sebagai negara paling berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di muka bumi. Ada tujuh indikator yang digunakan untuk mengukur degradasi lingkungan, yakni penggundulan hutan, pemakaian pupuk kimia, polusi air, emisi karbon, penangkapan
3
ikan, dan ancaman spesies tumbuhan dan hewan, serta alih fungsi lahan hijau menjadi lahan komersial. Krisis lingkungan yang kini mencengkeram Bumi adalah akibat konsumsi berlebihan manusia atas sumber daya alam (Rahmawati, 2012).
Batubara merupakan salah satu bahan galian yang sangat strategis yang sekaligus menjadi sumberdaya energi. Pertambangan batubara selain dapat mendatangkan devisa negara juga membuka lapangan pekerjaan, namun demikian dengan adanya pertambangan batubara akan berdampak pada kerusakan lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rekam jejak Kerusakan lingkungan akibat pertambangan batubara bukan hanya berakhir pada saat selesai ekisploitasi saja tetapi setelah selesai kegiatan penambanganpun masih ada dampak yang ditimbulkannya. Menurut Rahmawaty (2002). Tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan sekitar 50%, hijauannya dan pada 2020 warna hijau tinggal tersisa 25%. Hal ini menunjukan bahwa hutan di Kalimantan sudah banyak mengalami penurunan baik kualitas maupun kuantitas.
Dalam rangka perbaikan lingkungan dan meminimalisir kerusakan lingkungan pada lahan bekas pertambangan batubara, maka perlu mengetahui indikator kerusakan lingkungan. Indikator merupakan suatu ukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara langsung maupun tidak langsung, gejala perubahan ini merupakan variabel-variabel yang membantu kita dalam mengevaluasi keadaan atau kemungkinan melakukan pengukuran terhadap kondisi keseluruhan lingkungan lahan bekas penambangan batubara. Menurut Marshal (2013), bahwa Peristiwa ini mungkin pertanda bahwa bentuk-bentuk kehidupan lainnya, termasuk
4
kehidupan manusia, bisa menjadi terancam apabila kondisi lingkungan terus memburuk. Namun demikian bagaimana kondisi lingkungan yang seharusnya sebelum satwa liar dan kehidupan manusia berada dalam bahaya? Atau apakah mereka dalam sudah bahaya? Jelas, metode yang lebih baik diperlukan untuk memprediksi kemungkinan masalah lingkungan dan kondisi lingkungan masa akan datang, berdasarkan bukti yang ada sehingga Informasi tersebut dapat membimbing regulator lingkungan dalam mengambil keputusan dan mengambil tindakan untuk meminimalkan kerusakan lingkungan.
Indikator kerusakan lingkungan akibat pertambangan batubara, yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur bahwa suatu lingkungan mengalami kerusakan adalah (1) Adanya degradasi lahan, (2) Kerusakan ekosistem, (3) Sidementasi pada sungai dan danau, (4) perubahan iklim. Menurut Muhjiddin (2012) beberapa indikator kerusakan lingkungan, adalah ; berubahnya bentangan alam, berubahnya kondisi tanah, berubahnya kondisi lingkungan bekas lahan pertambangan, pencemaran, erosi, sidementasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar areal pertambangan. Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan, Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
5
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, bahwa terdapat sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Dari sektor pertambangan ini sumbangan yang terbesar adalah pertambangan batubara. Kondisi sungai yang keruh terjadi akibat adanya aktivitas pertambangan, hilangnya habitat, berkurangnya keaneragaman hayati, Pencemaran air, udara dan tanah.
Perubahan bentangan alam, gangguan pada system aliran air permukaan (Run off) dan air tanah, perubahan sifat fisik tanah ( struktur, tekstur, prositas dan bulk density), sifat kimia tanah (ketersediaan unsur hara, keasaman tanah), sifat biologi tanah (hilangnya makro dan mikroorganisme tanah), kerusakan ekosistem (hilangnya habitat tumbuhan dan satwa, erosi dan sedimentasi serta pencemaran air dan tanah dari air asam tambang merupakan dampak dari adanya pertambangan batubara. Kondisi lingkungan yang demikian sangat memprihatikan karena akan mengancam bentuk-bentuk kehidupan lainnya, terutama keselamatan kehidupan umat manusia.
Untuk itu dalam upaya untuk meminmalisir kerusakan lingkungan yang terlalu parah maka perlu memahami kerusakan lingkungan, baik terjadinya secara alami maupun kerusakan lingkungan sebagai akibat campur tangan manusia dalam mengelola sumberdaya alam yang ada di Indonesia, salah satu upaya yang bisa kita lakukan adalah dengan mengetahui indikator kerusakan lingkungan tersebut.
Terdapat beberapa indikator yang menyebabkan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari pertambangan batubara, diantaranya ; Degradasi lahan, Kerusakan ekosistem, sidementasi pada sungai dan danau, serta perubahan iklim (Climate
6
Change). Degradasi Lahan akan berdampak pada hilangnya lapisan bahan organik, berubahnya kondisi awal fisik, kimia dan biologi tanah. Kerusakan ekosistem akan berdampak pada hilangnya flora dan fauna/kepunahan spesies yang ada pada areal kerusakan lingkungan. Sidementasi akan berdampak pada kelangkaan air bersih, dan bencana banjir tahunan yang semakin meluas. perubahan iklim akan berdampak pada pemanasan global.
1.3. Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
1. Untuk mengetahui kerusakan lingkungan sebagai akibat pertambangan batubara
2. Untuk mengetahui Indikator kerusakan lingkungan sebagai akibat pertambangan batubara.
b. Manfaat
1. Mendukung/menunjang pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
2. Sebagai alternatif mengatasi kerusakan lingkungan
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Teoritis Indikator Kerusakan Lingkungan
Akibat Pertambangan Batubara
Kontribusi terbesar terhadap kerusakan lingkungan di Indonesia adalah adanya campur tangan manusia dalam memkanfaatkan lingkungan sebagai obyek pemenuhan kebutuhan manusia, terutama dalam pemenuhan energi untuk industri dan pembangunan. Pertambangan batubara merupakan salah satu aktivitas eksplorasi
kerusakan lingkungan
Indikator kerusakan lingkungan
Pertambangan batubara
Indikator ekosistem
Indikator kerusakan tanah :
Fisika Tanah, Kimia Tanah, Biologi Tanah
Indikator
Pencemaran perairan
Indikator
Polusi Udara
Indikator
Polusi Udara
kerusakan ekosistem
Hilangnya Keragaman Hayati (Makro, mikro flora dan fauna)
kerusakan tanah
Fisika Tanah, Kimia Tanah, Biologi Tanah
Pencemaran Perairan
Polusi Udara
Perubahan Iklim
8
sumberdaya alam yang merupakan suatu dilema bagi pembangunan nasional di Indonesia, karena Menurut Soemarno (2006) bahwa keberadaan pertambangan secara signifikan menjadi sektor yang sangat strategis dan sentral dalam kerangka pembangunan nasional. Namun demikian kegiatan pertambangan apabila tidak dilaksanakan secara tepat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama gangguan keseimbangan permukaan tanah yang cukup besar.
Pada umumnya pertambangan batubara di Indonesia dilakukan secara terbuka (open pit mining), yakni pembukaan lahan dan pengupasan lapisan atas tanah untuk mendapatkan batubara. Dampak yang ditimbulkan oleh adanya pertambangan batubara secara terbuka (open pit mining) adalah : kerusakan ekosistem, kerusakan tanah, pencemaran dan sidementasi perairan, polusi udara dan perubahan iklim. Dalam upaya untuk melestarikan dan keberlanjutan pembangunan masa yang akan datang, maka perlu adanya mengetahui secara dini tolak ukur kerusakan lingkungan, agar nantinya kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi dapat diminimalkan, yakni dengan mengindentifikasi indikator kerusakan lingkungan sebagai akibat pertmbangan batabara secara terbuka tersebut. Adapun indikator kerusakan lingkungan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Indikator kerusakan ekosistem ;
2. Indikator Kerusakan Tanah ;
3. Indikator pencemaran Perairan ;
4. Indikator Polusi Udara ; dan
5. Indikator perubahan iklim
9
2.2. Kerusakan Lingkungan
Menurut Syawal (2013) mengatakan Salah stau aktivitas manusia yang baik secara langsung maupun tidak langsung membawa dampak pada kerusakan lingkungan hidup adalah Pemanfaatan sumber daya alam (Pertambangan Batubara) secara tidak terkendali, dari aktivitas tersebut akan menimbulkan kerusakan lingkungan, antara lain:
a. Terjadinya pencemaran (pencemaran udara, air, tanah, dan suara) sebagai dampak adanya kawasan industri.
b. Terjadinya banjir, sebagai dampak buruknya drainase atau sistem pembuangan air dan kesalahan dalam menjaga daerah aliran sungai dan dampak pengrusakan hutan.
c. Terjadinya tanah longsor, sebagai dampak langsung dari rusaknya hutan.
Kerusakan yang disebabkan oleh manusia ini justru lebih besar dibanding kerusakan akibat bencana alam. Ini mengingat kerusakan yang dilakukan bisa terjadi secara terus menerus dan cenderung meningkat. Kerusakan ini umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan seperti perusakan hutan dan alih fungsi hutan, pertambangan, pencemaran udara, air, dan tanah dan lain sebagainya.
Menurut Muhjiddin (2012) Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan di permukaan bumi ini. Peningkatan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat, telah mengakibatkan terjadinya eksplorasi intensif (berlebihan) terhadap sumber daya alam, terutama hutan dan bahan tambang yang akibatnya ikut memacu terjadinya kerusakan lingkungan terutama yang berupa degradasi lahan.
10
Padahal lahan dengan sumberdayanya berfungsi sebagai penyangga kehidupan hewan dan tumbuhan termasuk manusia.
Menurut Sofyan (2009) beberapa dampak yang ditimbulkan oleh pertambangan batubara adalah :
a. Lubang tambang, Pada kawasan pertambangan yang menyebabkan bumi menganga sehingga tak mungkin bisa direklamasi
b. Air Asam tambang, mengandung logam berat yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang.
c. Tailing, mengandung logam-logam berat dalam kadar yang mengkhawatirkan seperti tembaga, timbal, merkuri, seng, arsen yang berbahaya bagi makhluk hidup.
d. Sludge, limbah cucian batubara yang ditampung dalam bak penampung yang juga mengandung logam berbahaya seperti boron, selenium dan nikel dll.
e. Polusi udara, akibat dari (debu) flying ashes yang berbahaya bagi kesehatan penduduk dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Menurut Barbara Gottlieb et al (2010) bahwa kandungan racun pada abu batubara dapat bervariasi tergantung di mana batubara tersebut ditambang, pada umumnya abu batubara mengandung beberapa logam beracun paling mematikan di dunia: arsenik, timbal, merkuri, kadmium, kromium dan selenium.
11
2.3. Kerusakan ekosistem
Ekosistem adalah sistem pendukung kehidupan di planet ini yang sangat penting bagi kesehatan manusia dan sangat diperlukan untuk kesejahteraan umat manusia dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan yang Sehat, selanjutnya yang terpenting adalah bahwa keputusan yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi juga harus berwawasan dan melindungi lingkungan (WHO. 2005).
Ekosistem merupakan satu kesatuan tatanan yang terbentuk oleh adanya hubungan timbal balik antara unsur biotik dengan unsur-unsur abiotik pada suatu wilayah. Ekosistem terdiri dari unsur-unsur biotik, seperti ; tumbuhan, satwa/hewan, mikroorganisme dan manusia serta abiotik unsur fisik, kimia dan lingkungan seperti ; tanah, suhu, kelembabam dan unsur iklim lainnya, bahan organik, hubungan timbal balik ini berjalan secara dinamis dan seimbang sehingga tercipta kondisi lingungan yang mendukung kehidupan makhluk hidup (Karden, 2009).
Apabila salah satu unsur dalam suatu ekosistem ada yang hilang dalam suatu wilayah, maka suatu ekosistem dapat dikatakan mengalami kerusakan, kerusakan ini sebagai akibat dari kerusakan alami, seperti ; kebakaran hutan, tsunami dan longsor dan kerusakan akibat campur tanagan manusia, seperti ; penambangan, penggunaan zat-zat kimia yang terus menerus dan tidak terkendali, pertanian monokultur (Perkebunan Kelapa sawit).
Menurut Rensi (2012) diperkirakan dalam masa 300 (tiga ratus) tahun belakangan ini telah banyak spesies yang sudah punah dari muka bumi ini, dan
12
semakin lama akan semakin bertambah sehingga dikhawatirkan suatu saat manusia juga, akan dapat menjadi korban kepunahan. Kepunahan jenis di Indonesia terutama disebabkan oleh degradasi habitat (deforestasi, perubahan peruntukan lahan), bencana (kebakaran), eksploitasi secara tidak bijaksana (perburuan/pemanenan liar) dan masuknya spesies asing invasif serta perdagangan satwa liar.
Menurut Hendy (2013) Studi CIFOR (International Forestry Research) menelaah tentang penyebab perubahan tutupan hutan yang terdiri dari perladangan berpindah, perambahan hutan, transmigrasi, pertambangan, perkebunan, pembalakan dan industri perkayuan. Selain itu kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh kelompok profesional atau penyelundup yang didukung secara illegal oleh oknum-oknum. Pembukaan areal hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit ditunding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan, Hutan yang didalamnya terdapat beranekaragam jenis pohon mengalami perubahan menjadi tanaman monokultur, menyebabkan hilangnya biodiversitas dan keseimbangan ekologis di areal tersebut. Beberapa jenis satwa yang menjadikan hutan tersebut sebagai habitatnya akan berpindah mencari tempat hidup yang lebih sesuai. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit pada areal hutan tropis merupakan salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan dan berdampak negatif terhadap emisi gas rumah kaca.
Hasil Penelitian terakhir dari CIFOR mengungkapkan beberapa dampak negatif dari perubahan penggunaan lahan untuk produksi bahan bakar nabati atau biofuel. Pembangunan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut,
13
menyebabkan emisi karbon yang dihasilkan dari konversi lahan memerlukan waktu ratusan tahun untuk proses pemulihan seperti sedia kala.
Berdasarkan data Bank Dunia 2001 diperkirakan bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,6 juta ha per tahun atau tiga ha per menit hingga dua juta ha per tahun. Jika penggundulan hutan terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat. Pembukaan jalan dalam kawasan yang dilindungi lebih banyak membawa dampak negatif bagi lingkungan. Indonesia mempunyai lahan basah (termasuk hutan rawa gambut) terluas di Asia, yaitu 38 juta ha yang tersebar mulai dari bagian timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku sampai Papua. Tetapi luas lahan basah tersebut telah menyusut menjadi kurang lebih 25,8 juta ha (Suryadiputra, 1994 dalam Irwanto, 2010).
2.4. Kerusakan Tanah
Kerusakan tanah secara fisik dapat diakibatkan penambangan (batubara) yang tidak terkendali, pertanian monokultur (perkebunan kelapa sawit), penggunaan pupuk kimia (anorganik) secara terus menerus, hal ini akan menyebabkan menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, serta berkurangnya kemantapan struktur tanah yang pada akhirnya terhambatnya pertumbuhan tanaman dan menurunnya produktivitas.
14
a. Kerusakan Fisika Tanah
Perubahan penggunaan lahan dari hutan atau perkebunan menjadi lahan pertanian maupun permukiman akan menurunkan fungsi tanah. Tanah merupakan media untuk pertumbuhan vegetasi, terdapat hubungan erat antara komponen tanah, air, dan vegetasi. Perubahan penggunaan lahan dapat mengubah tutupan vegetasi pada lahan terbuka seperti lahan sawah dan tegalan menjadi rumput atau pekarangan, serta cenderung menambah proporsi luas lahan terbangun (Setyowaty, 2007). Menurut Ismanto (2012), konversi hutan menjadi lahan pertanian khususnya pada lahan miring merupakan kegiatan yang beresiko tinggi. Karena dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas tanah akibat terjadinya erosi.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran tanaman dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah tersebut selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah sehingga menjadi agregat atau partikel yang lebih kecil juga menyebabkan terbentuknya kerak di permukaan tanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Agregat atau partikel-partikel yang halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehingga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Pada saat hujan turun kerak yang terbentuk di permukaan tanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering (Suprayogo,2004).
15
Menurut Arsyad (2006) mengemukakan bahwa kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya fungsi tanah, baik sebagai sumber unsurhara tumbuhan maupun sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan tempat air tersimpan. Pembukaan lahan hutan menjadi lahan pertanian dapat diduga sebagai penyebab rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.
Tanah memiliki sifat fisik, biologi dan kimia yang berbeda beda pada lingkungan yang berbeda pula. Demikian halnya pada lahan hutan, pertanian campuran maupun pertanian monokultur. Keadaan sifat fisik tanah yang baik dapat memperbaiki lingkungan untuk perakaran tanaman dan secara tidak langsung memudahkan penyerapan unsurhara. sehingga relatif menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Tanaman secara tidak langsung dapat melindungi tanah dari kerusakan sifat fisiknya, terutama kerusakan akibat aliran permukaan (run off). Adanya tanaman akan menyebabkan air hujan yang jatuh tidak menghantam permukaan tanah melainkan terlebih dahulu ditangkap oleh tajuk daun tanaman, dan proses ini disebut intersepsi (Wani, 1994).
Besarnya intersepsi hujan oleh tajuk daun tanaman juga sangat ditentukan oleh populasi dalam hal ini berhubungan dengan jumlah dan kerapatan tanaman (lebar tajuk). Hutan dan vegetasinya memiliki peranan dalam pernbentukan dan pemantapan agregat tanah. Vegetasinya berperan sebagai pemantap agregat tanah karena akarnya dapat mengikat partikel partikel tanah dan juga mampu menahan daya tumbuk butir butir air hujan secara langsung ke permukaan tanah sehingga penghancuran tanah dapat dicegah. Selain itu seresah yang berasal dari daun-daunnya
16
dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Hal inilah yang dapat mengakibatkan perbaikan terhadap sifat fisik tanah, yaitu pembentukan struktur tanah yang baik maupun peningkatan porositas yang dapat meningkatkan perkolasi, sehingga memperkecil erosi (Kartasapoetra, 1988).
a. Kerusakan Kimia Tanah
Menurut buckman dan Brady (1982) mengatakan bahwa komponen utama tanah terdiri dari bahan mineral, bahan organik, air dan udara. Menurut Dirjend Dikti (1991) mengatakan bahwa campuran komponen utama ini akan saling mempengaruhi satu sama lain, seperti ; reaksi-reaksi bahan padat berpengaruh terhadap kualitas udara dan air, akan berpengaruh terhadap pelapukan (hancuran iklim) bahan padat, dan reaksi-reaksi (bersifat katalisator) dari jasad renik. Kimia tanah terlibat dalam semua reaksi ini, namun lebih ditekankan pada larutan tanah yang merupakan suatu lapisan air yang tipis (the tin aqueous film) sekeliling butiran tanah. Kecepatan reaksi-reaksi ini berlangsung sangat tergantung pada keadaan lingkungan.
Penambangan batubara secara terbuka diawali dengan menebang, membersihkan (land clearing) vegetasi penutup tanah sekaligus mengupas tanah lapisan atas yang relatif subur kemudian menimbun kembali areal bekas penambangan. Cara ini berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem dan kerusakan lahan, antara lain ; kerusakan ekosistem, seperti ; terjadinya kepunahan spesies baik mikro maupun makro fauna, hilangnya vegetasi penutup tanah dan kerusakan lahan, seperti ; terjadinya perubahan sifat tanah, hilangnya lapisan bahan organik atau
17
munculnya lapisan bahan induk yang produktivitasnya rendah, timbulnya lahan masam dan garam-garam yang dapat meracuni tanaman, rusaknya bentang alam, serta terjadinya erosi dan sedimentasi, karena bahan-bahan nonbatubara yang jumlahnya 3-6 kali jumlah batubara yang diperoleh perlu dibongkar dan dipindahkan. Tanah hasil pembongkaran tersebut mempunyai sifat yang berbeda dengan keadaan sebelum dibongkar, yaitu tanah terlalu padat, struktur tidak mantap, aerasi dan drainase buruk, serta lambat meresapkan air. Dalam proses penimbunan, lapisan tanah menjadi tercampur aduk. Tidak jarang bahan induk berada di lapisan atas dan lapisan subur yang mengandung bahan organik berada di bawah. Bahan induk yang berada di lapisan teratas dapat menjadi masalah karena bahan tersebut miskin unsur hara. Masalah lain adalah timbulnya tanah masam. Pirit (FeS2), bila teroksidasi menyebabkan pH tanah menjadi masam (4 - 5). Bahkan pada areal timbunan yang baru, pH tanah sangat masam (2,6 - 3,6). Kation yang dapat ditukar tinggi, seperti Al (1,7 - 6,25), Mg (4,45 - 13,84), dan Ca (3,01 - 8,72) me/100 g tanah. Kandungan garam-garam sulfat yang tinggi seperti ; MgSO4, CaSO4, dan AlSO4, dapat menyebabkan tanaman mengalami keracunan. Pada musim kemarau, garam-garam ini akan muncul ke permukaan tanah sebagai kerak putih. Perubahan bentang alam juga dapat mengganggu keseimbangan alam. Penambangan batu bara secara terbuka akan memunculkan lubang-lubang galian yang sangat dalam dan luas. Tanah yang dibongkar kemudian dipindahkan ke areal tertentu. Sering terjadi lahan yang sebelumnya bukit setelah tanahnya dibongkar berubah menjadi lembah, atau lahan
18
yang sebelumnya lembah lalu ditimbun menjadi bukit. Hal ini menyebabkan stabilitas lingkungan berubah dan tanah mudah longsor (Yoza, 2008).
b. Kerusakan Biologi Tanah
Kerusakan biologi ditandai oleh penyusutan populasi maupun berkurangnya biodiversitas organisme tanah, Organisme tanah memainkan peran penting dalam membentuk dan menstabilkan struktur tanah. Pada tanah yang sehat ekosistem, filamen jamur dan eksudat dari mikroba dan cacing tanah membantu tanah mengikat partikel bersama-sama ke agregat yang stabil yang akan meningkatkan infiltrasi air, dan melindungi tanah dari erosi, krusta, dan pemadatan. pori makro dibentuk oleh cacing tanah yang bersarang (Burrowing) bersama dengan organisme lainnya memfasilitasi pergerakan air kedalam tanah. Dan akan memperbaiki struktur tanah dan perkembangan akar, yang selanjutnya akan meningkatkan kesuburan tanah (USDA, 2004).
Pada umumnya kerusakan biologi ini terjadi biasanya bukan kerusakan sendiri, melainkan akibat dari kerusakan lain (fisik dan atau kimia), sebagai akibat pertambangan batubara, contoh penggunaan alat-alat berat, bahan peledak dan penggunaan bahan-bahan atau unsur-unsur asing pada saat aktivitas pertambangan seperti bahan bakar, pelumas, dan munculnya bahan-bahan bawaan seperti ; Air Asam Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD), yang akan merusak fisika tanah dan tanah mengalami keracunan. Menurut World Coal Asociation (2014) Air asam tambang (AMD) dapat menjadi tantangan pada aktivitasi penambangan
19
batubara. AMD adalah air yang mengandung logam terbentuk dari reaksi kimia antara air dan batu yang mengandung mineral sulfur-bearing. Limpasan yang terbentuk biasanya mengandung asam dan seringkali berasal dari daerah di mana kegiatan penambangan batubara telah membuka batuan yang mengandung pirit, mineral sulfur-bearing. Namun, drainase yang mengandung logam juga bisa terjadi di daerah mineralisasi yang belum ditambang. AMD terbentuk pada saat pirit bereaksi dengan udara dan air untuk membentuk asam sulfat dan besi terlarut. Ini asam run-off larut logam berat seperti tembaga, timbal dan merkuri ke dalam tanah dan air permukaan.
2.5. Kerusakan Lingkungan Perairan
Pencemaran perairan, pada tahun–tahun terakhir ini telah menjadi masalah serius yang dihadapi oleh berbagai daerah di Indonesia, dengan meningkatnya kegiatan pembangunan nasional, nampaknya pencemaran perairan akan terus menjadi masalah bagi umat manusia yang akan datang. Suatu perairan dikatakan telah tercemar, apabila suatu bahan atau kondisi yang dapat menyebabkan penurunan kualitas perairan sampai pada tingkat tertentu sehingga lingkungan perairan tersebut tidak bisa dimanfaatkan (Miller, 1985). Menurut Lockwood (2012) bahwa air minum yang terkontaminasi merupakan salah satu masalah kesehatan utama untuk masyarakat sekitar pertambangan batubara, karena limbah tambang di kolam lumpur melepaskan logam berat dan polutan lain yang mencemari permukaan dan air tanah.
20
Air limbah dari proses pencucian kotoran dari batubara sebelum pengiriman akan meresap kedalam tanah (Halzman, 2011).
Kebanyakan teknik pertambangan modern memiliki kebutuhan air yang tinggi untuk ekstraksi, pengolahan, dan pembuangan limbah. Air limbah dari proses ini dapat mencemari sumber air di dekatnya dan menguras persediaan air tawar di wilayah sekitar tambang. Beberapa tambang, seperti tambang Mountain Pass di California selatan, telah menerapkan teknologi daur ulang air limbah, mengakibatkan penurunan besar dalam permintaan air dan limbah cair (Molycorp, 2012).
Tingkat pencemaran perairan dapat diketahui melalui pengukuran secara fisika, kimia dan biologi. Pengukuran secara fisika, kimia dapat dilakukan dengan mengukur kadar logam berat, pH, kekeruhan, suhu, kadar pestisida atau bahan kimia lainnyayang terdapat dalam air. Kualitas kehidupan didalam air sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan itu sendiri sebagai media hidup organism air, makin buruk kualitas suatu perairan, makin buruk pula kualitas kehidupan di dalam perairan tersebut. Ini berarti bahwa komunitas organisme yang hidup di perairan baik berbeda dengan yang hidup diperairan yang tercemar (Soegianto, 2004). Pencemaran suatu perairan dapat disebabkan oleh adanya aktivitas pertambangan khususnya pertambangan batubara, yang secara jelas akan berpengaruh terhadap lingkungan perairan karena bahan-bahan hasil eksploitasi pertambangan batubara akan terbawa oleh air hujan (Run Off) ke sungai dan sungai tersebut mengalami sidimentasi, dengan adanya sidimentasi, maka sungai tersebut akan mengalami pendangkalan dan pada akhirnya akan menimbulkan bencana seperti ; banjir dan memburuknya kualitas
21
air. apabila terjadi pencemaran di air, maka terjadi akumulasi zat pencemar pada tubuh organisme air. Akumulasi pencemar ini semakin meningkat pada organisme pemangsa yang lebih besar.
Menurut Darmano (1995), pencemaran air terdiri dari bermacam-macam jenis, antara lain:
a. Pencemaran Mikroorganisme dalam Air
Berbagai kuman penyebab penyakit pada makhluk hidup seperti bakteri, virus, protozoa, dan parasit sering mencemari air. Kuman yang masuk ke dalam air tersebut berasal dari buangan limbah rumah tangga maupun buangan dari industri peternakan, rumah sakit, tanah pertanian dan lain sebagainya. Pencemaran dari kuman penyakit ini merupakan penyebab utama terjadinya penyakit pada orang yang terinfeksi. Penyakit yang disebabkan oleh pencemaran air ini disebut water-borne disease dan sering ditemukan pada penyakit tifus, kolera, dan disentri.
b. Pencemaran Air oleh Bahan Anorganik Nutrisi Tanaman
Penggunaan pupuk nitrogen dan fosfat dalam bidang pertanian telah dilakukan sejak lama secara meluas. Pupuk kimia ini dapat menghasilkan produksi tanaman yang tinggi sehingga menguntungkan petani. Tetapi dilain pihak, nitrat dan fosfat dapat mencemari sungai, danau, dan lautan. Sebetulnya sumber pencemaran nitrat ini tidak hanya berasal dari pupuk pertanian saja, karena di atmosfer bumi mengandung 78% gas nitrogen . Pada waktu hujan dan terjadi kilat dan petir, di udara
22
akan terbentuk amoniak dan nitrogen terbawa air hujan menuju permukaan tanah. Nitrogen akan bersenyawa dengan komponen yang kompleks lainnya.
Menurut Setyorini et al (2003) bahwa berbagai macam pupuk anorganik dan pupuk yang berasal dari batuan fosfat mengandung logam berat, lihat Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Kandungan Logam Berat dalam Beberapa Jenis Pupuk Anorganik
No
Logam Berat
Pupuk Fosfat
(mg/kg)
Pupuk N
(mg/kg)
1
Arsen
2 – 1.200
2,3 – 120
2
Baron
5 – 115
-
3
Kadmium
0,1 – 170
0,05 – 8,5
4
Kobal
1 – 12
5,4 – 12
5
Kromium
66 – 245
3,2 – 19
6
Tembaga
1 – 300
-
7
Air Raksa
0,01 – 1,2
0,3 – 2,9
8
Timah (timbal)
40 – 2.000
-
9
Mangan
0,1 – 60
1 – 7
10
Molibdenum
7 – 38
7 -34
11
Nikel
7 – 225
227
12
Selenium
0,5
-
13
Uranium
30 – 300
-
14
Vanadium
2 – 1.600
-
15
Seng
50 - 1450
1 – 42
Sumber Setyorini et al. 2003.
23
Tabel 2. Logam Berat dalam Berbagai Jenis Bahan Fosfat Alam (PA) dan SP-36
No
Asal Batuan Fosfat
Cd
(mg/kg)
Cr
(mg/kg)
Pb
(mg/kg)
PA Chrismast
38
-
60
PA Tunisia
76
-
42
PA Moroko
57
-
113
PA Jordan
5
244
Tu
PA Senegal
113
-
55
PA China Huinan
3
-
Tu
PA Ciamis
28
20
Tu
PA Sukabumi
65
-
65
SP-36
11
4
Tu
Sumber Setyorini et al 2003, tu = tidak terukur.
c. Pencemar Bahan Kimia Anorganik
Bahan kimia anorganik seperti asam, garam dan bahan toksik logam lainnya seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), merkuri (Hg) dalam kadar yang tinggi dapat menyebabkan air tidak enak diminum. Disamping dapat menyebabkan matinya kehidupan air seperti ikan dan organisme lainnya, pencemaran bahan tersebut juga dapat menurunkan produksi tanaman pangan dan merusak peralatan yang dilalui air tersebut (karena korosif).
d. Pencemar Bahan Kimia Organik
Bahan kimia organik seperti minyak, plastik, pestisida, larutan pembersih, detergen dan masih banyak lagi bahan organik terlarut yang digunakan oleh manusia dapat menyebabkan kematian pada ikan maupun organisme air lainnya. Lebih dari 700 bahan kimia organik sintetis ditemukan dalam jumlah relatif sedikit pada permukaan air tanah untuk diminum di Amerika, dan dapat menyebabkan gangguan
24
pada ginjal, gangguan kelahiran, dan beberapa bentuk kanker pada hewan percobaan di laboratorium. Tetapi sampai sekarang belum diketahui apa akibatnya pada orang yang mengkonsumsi air tersebut sehingga dapat menyebabkan keracunan kronis.
2.6. Pencemaran Udara
Pencemaran udara atau sering kita dengar dengan istilah polusi udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan atau komposisi udara dari keadaan normalnya (Wardhana,2001). Pencemaran udara disebabkan oleh berbagai macam zat kimia, baik berdampak langsung maupun tidak langsung yang semakin lama akan semakin mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.
Pencemaran udara ini dapat berbentuk padatan, seperti partikel kecil yang disebabkan oleh debu yang berterbangan akibat tiupan angin, asap dari industri dan kendaraan bermotor, dan proses pembusukan sampah organik. Selain berbentuk padatan pencemaran dapat berupa cairan dan gelombang. Pencemaran berupa cairan seperti air hujan maupun bahan kimia yang cukup dominan (bentuk gas seperti Ozon, CO2), sedangkan pencemaran udara yang berbentuk gelombang seperti kebisingan akibat suara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.
Pencemaran udara yang melampaui batas kewajaran akan menimbulkan dampak terhadap makhluk hidup yang hidup di atas bumi ini. Oleh sebab itu, maka perlu kita fahami dampak apa saja yang dapat ditimbulkan oleh pencemaran udara khususnya terhadap tumbuhan. Ada beberapa polutan yang mencemari udara dan
25
berdampak internasional sehingga digelar dalam konferensi internasional maupun regional, antara lain :
a. Efek Rumah Kaca
meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca (CO2, CH4, CFC, HFC, N2O), terutama peningkatan konsentrasi CO2, di atmosfir menyebabkan terjadinya global warming (peningkatan suhu udara secara global) yang memicu terjadinya global climate change (perubahan iklim secara global). Fenomena ini memberikan berbagai dampak yang berpengaruh penting terhadap keberlanjutan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya di planet bumi ini, di antaranya adalah pergeseran musim dan perubahan pola/distribusi hujan yang memicu terjadinya banjir dan tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau, naiknya muka air laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil dan banjir rob, dan bencana badai/gelombang yang sering meluluhlantakan sarana-prasarana penopang kehidupan di kawasan pesisir. Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi (Hery, 2012).
Kekhawatiran akan meningkatnya emisi CO2 yang mempercepat laju pemanasan bumi yang antara lain mengakibatkan naiknya permukaan laut sehingga sebagian besar pantai dunia akan tergenang. Konferensi Tingkat Tinggi Dunia di Rio de Jenairo, Brazil pada bulan Juni 1992 mengeluarkan pernyataan yang lebih dikenal sebagai Agenda 21 bahwa seluruh dunia bersepakat untuk mengurangi emisi CO2
26
negara-negara industri pada tahun 2000 harus sama dengan tahun 1990, sedangkan pada negara berkembang baru diberlakukan tahun 2010 (AGENDA 21, Rio declaration; The United Nation Departement of Public Information, 1990).
b. Penipisan Lapisan Ozon
Ozon sangat penting dalam mencegah radiasi ultra-violet yang masuk ke bumi. Hal ini penting artinya, sebab jika Ozon tidak lagi berfungsi sebagai pencegah masuknya radasi ultra-violet yang masuk ke bumi, maka akan menyebabkan kerusakan-kerusakan pada makhluk hidup termasuk tumbuhan yang tidak dapat beradaptasi dengan sinar ultra-violet tersebut. Dilaporkan bahwa sinar tersebut dapat menyebabkan kanker pada kulit manusia. Menurut Graedel and Crutzen, (1990) Diyakini bahwa penyebab menipisnya lapisan ozon ini adalah gas CFC baik CFC-11(CFCl2) dan CFC-12 (CF2Cl2). Gas ini banyak dipergunakan dalam industri untuk pendingin yang lebih dikenal dengan istilah freon. Dalam Agenda 21 juga disepakati bahwa negara di dunia harus menghapuskan penggunaan CFC ini dan secepatnya diganti dengan produk yang ramah lingkungan (AGENDA 21, Rio eclaration; The United Nation Departement of Public Information, 1990).
c. Hujan Asam (Acid Rain)
Hujan asam adalah hujan yang memiliki kandungan pH (derajat keasaman) kurang dari 5,6. Pencemar udara seperti SO2 dan NO2 bereaksi dengan air hujan membentuk asam dan menurunkan pH air hujan. Dampak dari hujan asam ini antara
27
lain: Mempengaruhi kualitas air permukaan Merusak tanaman Melarutkan logam-logam berat yang terdapat dalam tanah sehingga mempengaruhi kualitas air tanah dan air permukaan. Bersifat korosif sehingga merusak material dan bangunan SO2 dan NOx (NO2 dan NO3) yang menguap ke udara akan bercampur dengan embun. Dengan bantuan cahaya matahari, senyawa tersebut akan diubah menjadi tetesan-tetesan asam yang kemudian turun ke bumi sebagai hujan asam. Namun, bila H2SO2 dan HNO2 dalam bentuk butiran-butiran padat dan halus turun ke permukaan bumi akibat adanya gaya gravitasi bumi, maka peristiwa ini disebut dengan deposisi asam. SO2 dan NOx (NO2 dan NO3) yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil (kendaraan bermotor) dan pembakaran batubara (pabrik dan pembangkit energi listrik) akan menguap ke udara. Sebagian lainnya bercampur dengan O2 yang dihirup oleh makhluk hidup dan sisanya akan langsung mengendap di tanah sehingga mencemari air dan mineral tanah (Wardhana, 2001).
Batubara yang mengandung sulfur melalui pembakaran akan menghasilkan sulfur dioksida. Sulfur dioksida bersama dengan udara serta oksigen dan sinar matahari dapat menghasilkan asam sulfur. Asam ini membentuk kabut dan suatu saat akan jatuh sebagai hujan yang disebut hujan asam. Hujan asam dapat menyebabkan gangguan pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Misalnya gangguan pernapasan, perubahan morfologi pada daun, batang, dan benih.
Akibat polusi NH4, H2SO4 yang turun bersama hujan menyebabkan pH air menurun, juga endapannya dapat bertahan di tanah oleh hujan akan dilarutkan
28
menyebabkan pH menurun. Penyebab utamanya adalah terbentuknya gas SO2 dan NO2 oleh ulah manusia dari bahan bakar batubara dan bahan bakar minyak Suatu pelajaran penting dari hujan asam dapat dilihat dari data di Skandinavia yang terkenal dengan hutan dan banyaknya sungai dan danau. Di samping itu, pengukuran pH pada air permukaan Norwegia Tengah dari 21 perairan yang diukur pHnya rata-rata turun dari 7,5 menjadi 5,4 hingga 6,3 diantara tahun 1941-1970. Di Swedia, dari 14 perairan yang diukur, pH air permukaan menurun dari 6,5 – 6,6 ke 5,4 – 5,6 dari tahun 1950 ke 1971 dan menurun dari 5,7 menjadi 4,9 antara tahun 1955 ke 1973 (Manahan, 1994).
2.7. Perubahan Iklim
Menurut Geoff (2010), Pandangan sebagian besar ilmuwan iklim adalah bahwa perubahan iklim sudah terjadi dan bahwa gas rumah kaca yang sudah dilepaskan akan terus berkontribusi lebih lanjut terhadap pemanasan global paling tidak sepanjang dekade mendatang. Mereka mendesak adanya langkah-langkah mitigasi yang tegas untuk memangkas timbulnya gas rumah kaca dan dengan demikian membatasi dampak negatif serius yang diramalkan. Sebagian besar pemerintah juga memberi komitmen mereka dalam perkataan dan dalam kesepakatan internasional sampai pada cara-cara guna meminimalkan tingkat dan memitigasi dampak perubahan iklim. Sejumlah pemerintah memberi komitmen, secara teori, terhadap tindakan-tindakan radikal untuk mengurangi output gas rumah kaca. Inggris, misalnya, belum lama ini mengadopsi target untuk pengurangan emisi karbon
29
dioksida di Inggris sebesar 80% (dibandingkan dengan tingkat 1990) pada tahun 2050. Pengurangan sebesar itu dipandang perlu untuk mengatasi besarnya krisis. Pengurangan ini tidak dapat dicapai tanpa perubahan signifikan dalam sifat perekonomian dewasa ini. Ini tidak berarti bahwa tenaga kerja harus dikurangi-justru, kelompok-kelompok pengkampanye iklim secara khusus menganjurkan investasi dalam pekerjaan 'hijau' yang baru di negara-negara industri.6 Ini juga tak berarti harus mengurangi penggunaan energi secara besar-besaran-yang perlu dilakukan adalah melakukan perubahan dalam sumber energi yang diperlukan. Sejumlah ilmuwan berargumentasi bahwa 95% dari kebutuhan energi dunia dapat disediakan oleh sumber terbarukan pada tahun 2050.
Meskipun ada rasa skeptis yang meningkatdi sejumlah bagian dunia, terdapat kesepakatan yang meluas di antara para ilmuwan iklim2 bahwa gas-gas tertentu yang ada dalam atmosfer bumi, khususnya karbon dioksida, nitrus oksida dan metana, menjerat panas dan berfungsi sebagai 'gas rumah kaca'. Dikhawatirkan bahwa peningkatan konsentrasi atmosferik dari gas-gas tersebut yang diakibatkan oleh kegiatan manusia akan mengakibatkan naiknya suhu paling sedikit dua derajat dan mungkin, sampai enam derajat celsius dalam abad ini. Dampak pasti kenaikan suhu yang pesat itu sulit diramalkan tetapi diyakini bahwa akan mencakup kenaikan suhu yang semakin tinggi pada garis lintang yang lebih tinggi, khususnya di wilayah kutub; meningkatnya permukaan laut secara signifikan, yang menyebabkan banjir di daerah-daerah yang rendah; mencairnya bongkahan es, tanah beku abadi dan glasier; dan perubahan dalam pola cuaca, termasuk lebih banyak musim kering, gelombang
30
panas, serta badai yang semakin hebat dan mungkin di luar musim. Beberapa negara kepulauan yang terletak di daerah rendah di Samudra Pasifik dan Hindia merasa khawatir akan kelangsungan eksistensi mereka bahkan sekalipun jika peningkatan permukaan laut tidak terlalu tinggi. Banyak wilayah dataran rendah juga mungkin terimbas secara serius.
31
BAB III. INDIKATOR KERUSAKAN LINGKUNGAN
Menurut Environmental Sustainability Indicator Report (2014), bahwa kerusakan sistem lingkungan dapat disebabkan oleh manusia atau alam. Peristiwa cuaca ekstrim seperti kekeringan dan banjir dapat menempatkan tekanan pada sistem lingkungan, sehingga sistem menjadi lebih rentan terhadap kerusakan. Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia pada umumnya hasil dari polusi dan limbah. Sistem lingkungan menunjukkan ambang batas untuk mengasimilasi sejumlah produk limbah. Setelah ambang batas yang telah dicapai, itu sangat mungkin bahwa sistem akan hadir dengan kerusakan, yang mungkin atau mungkin tidak sembuh dengan waktu. Contoh tekanan yang disebabkan oleh manusia termasuk pestisida dan pupuk mencemari sumber air, emisi udara seperti timbal dan sulfur dioksida, dan pembuangan limbah rumah tangga di tempat pembuangan sampah. Menekankan sistem lingkungan dapat lintas-batas di alam, dan umumnya dinamis dalam ruang dan waktu. Lintas batas tekanan akan terjadi ketika polusi satu negara ditransmisikan ke dalam wilayah negara lain di mana dampak yang berpengalaman. Penularan dapat terjadi misalnya melalui aliran air atau sirkulasi udara.
Indikator dan variabel yang mewakili tekanan pada sistem lingkungan adalah:
1. Polusi udara
a. Konsumsi Batubara
b. Kendaraan yang digunakan per area penduduk
32
2. Stres Ekosistem
a. Invasi spesies asing
3. Tekanan Penduduk
a. Persentase perubahan populasi diproyeksikan, 1950-2050
b. Angka kesuburan total (TFR)
c. Migrasi
4. tekanan Limbah dan konsumsi
a. Ecological footprint
b. Penggunaan energi
c. Kapasitas Penggembalaan
5. stres Air
a. Penjualan Pupuk
b. Stres Air
Salah satu indikator kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh degradasi lahan cukup nyata di depan mata dan sudah sangat sering kita alami, seperti banjir tahunan yang semakin besar dan meluas, erosi dan sedimentasi sungai dan danau, tanah longsor, kelangkaan air (kuantitas dan kualitas) yang berakibat terjadinya kasus kelaparan di beberapa wilayah negara. Polusi air dan udara, pemanasan global, perubahan iklim, kerusakan biodiversitas, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan serta ledakan hama dan penyakit merupakan gejala lain yang tak kalah seriusnya yang sedang mengancam kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan di planet bumi ini. Mewabahnya penyakit hewan dan manusia yang mematikan akhir akhir ini, seperti
33
demam berdarah, flu burung dan HIV, jika dicermati sebenarnya juga merupakan akibat telah terjadinya gangguan keseimbangan dan kerusakan lingkungan fisik maupun non fisik di permukaan bumi kita. Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional tersebut sebenarnya berakar dari perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungannya. Sebagai contoh dalam lingkup lokal, penebangan liar dan perusakan ekosistem hutan yang terjadi hampir seluruh pulau di negara kita, pencemaran lingkungan yang telah akut di Sumatera Utara, serta kerusakan lingkungan dan pencemaran di Irian Jaya yang sebenarnya merupakan perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab.
Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan di permukaan bumi ini. Peningkatan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat, telah mengakibatkan terjadinya eksplorasi intensif (berlebihan) terhadap sumber daya alam, terutama hutan dan bahan tambang yang akibatnya ikut memacu terjadinya kerusakan lingkungan terutama yang berupa degradasi lahan. Padahal lahan dengan sumberdayanya berfungsi sebagai penyangga kehidupan hewan dan tumbuhan termasuk manusia.
3.1. Indikator Kerusakan Ekosistem
Interaksi yang dinamis namun harmonis antara mahluk hidup dan lingkungannya akan membentuk suatu tatanan ekosistem yang seimbang. Kondisi ini akan berujung pada keselarasan hidup semua organisme di bumi. Komponen abiotik dan juga biotik yang menjadi dua unsur penting dalam tatanan ekosistem saling
34
terkait satu sama lainnya. Keterkaitan ini menjadikan interaksi di antara mereka tak bisa dipisahkan. Namun, keseimbangan tersebut akan bermuara pada kerusakan ekosistem dimana lingkungan bukan lagi tempat yang nyaman bagi organisme tersebut untuk tinggal dan hidup. Kerusakan ekosistem ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Apa saja? merupakan kabar yang sangat buruk bagi semua mahluk hidup sebab mereka seperti mata rantai yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Misalnya saja berkurangnya pohon akan membuat sejumlah hewan kehilangan rumahnya, akan membuat kualitas udara semakin buruk, akan memicu terjadinya bencana alam semacam banjir dan juga longsor. Berbeda dengan musabab alamiah, faktor manusia ini bisa dihindari dengan pola prilaku yang lebih cermat dan bersahabat dengan alam tentunya.
a. Kepunahan Spesies
Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya (KMNLH, 1997). Inventarisasi yang dilakukan oleh badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada 1988 sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies binatang lainnya dinyatakan berada di ambang kepunahan (BAPPENAS, 1993). Pada 2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam punah, yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia,114 burung, 28 reptilia, 68 ikan, 3 moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus
35
bancanus). Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka, diantaranya banyak yang merupakan kerabat dekat tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae) dinyatakan langka.
Menurut Rensi (2012) diperkirakan dalam masa 300 (tiga ratus) tahun belakangan ini telah banyak spesies yang sudah punah dari muka bumi ini, dan semakin lama akan semakin bertambah sehingga dikhawatirkan suatu saat manusia juga, akan dapat menjadi korban kepunahan. Menurut fakta ini, perlu adanya upaya penyelematan lingkungan. Usaha seperti ini tentunya dimulai dari diri sendiri. Setiap individu harus memberikan suatu sumbangan dan penyelamatan lingkungan demi kelestarian lingkungan. Dengan demikian, setiap individu harus mengingatkan minimal dirinya sendiri bahwa setiap tindakan yang mencemari lingkungan, dengan menggunakan zat kimia berbahaya perlu diperhatikan terhadap pengelolaan lingkungan hidup untuk lebih baik dimasa yang akan datang. Seperti yang telah diketahui bersama, adanya kerusakan lingkungan lebih banyak dikarenakan adanya ulah manusia dan adanya faktor alam yang ada selama ini.
Menurut Chesterfield (2012) bahwa perubahan dari hilangnya habitat asli untuk fauna dan flora asli, tutupan vegetasi, invasi oleh tanaman asing / spesies hewan, komposisi jenis komunitas tumbuhan diubah, kontaminasi dan penghancuran seluruh jaring makanan. Gangguan pemandangan alam, kuasi-alam, dan budaya pasti mengakibatkan perubahan komposisi dan struktur spesies tanaman, mengganggu strata tanah, dan merangsang invasi oleh spesies tanaman terganggu yang pada gilirannya dapat mengubah komposisi invertebrata lokal dan spesies terkait lainnya
36
dan habitat. Gangguan tersebut mungkin terkait dengan pembangunan jalan atau penggunaan kendaraan off-road selama kegiatan pertambangan batubara.
b. Berkurangnya Jumlah Populasi Vegetasi
Kerusakan ekosistem hutan pada kegiatan pemanenan tidak dapat dihindarkan. Tegakan tinggal merupakan bagian dalam ekosistem hutan yang akan menjadi tegakan inti sebagai kayu yang akan diproduksi pada siklus tebang selanjutnya sehingga, tegakan tinggal dapat menjadi indikator bagi kerusakan ekosistem hutan (Maizura Septi, 2014).
Selama bertahun-tahun, penambang batubara akan menempatkan burung kenari menjadi bagian yang baru dibuka dari tambang untuk menguji tingkat toksisitas gas. Jika kenari meninggal, para penambang tahu itu terlalu berbahaya untuk bekerja; jika kenari selamat, mereka melanjutkan pekerjaan mereka. Nasib kenari menjabat sebagai bioindikator toksisitas polutan yang bisa mengancam kesehatan manusia dan mungkin menyebabkan kematian (Marshall,2014).
3.2. Indikator kerusakan Fisika
Penambangan menyebabkan perubahan bentang lahan dan kualitas tanah hasil penimbunan setelah penambangan. Struktur tanah penutup rusak sebagai mana sebelumnya, juga tanah lapisan atas bercampur ataupun terbenam di lapisan dalam. Tanah bagian atas digantikan tanah dari lapisan bawah yang kurang subur, sebaliknya tanah lapisan atas yang subur berada di lapisan bawah. Demikian juga populasi hayati tanah yang ada di tanah lapisan atas menjadi terbenam, sehingga hilang/mati dan
37
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Daya dukung tanah lapisan atas pasca penambangan untuk pertumbuhan tanaman menjadi rendah (Subowo, 2010). Menurut Peraturan pemerintah nomor 150 tahun 2000, kriteria baku ambang kerusakan tanah pada lahan kering dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Indikator kerusakan fisika tanah pada lahan kering
No Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran Alat
1
Ketebalan solum
< 20 cm
Pengukuran langsung
Meteran
2
Kebatuan permukaan
> 40%
Pengukuran langsung imbangan batu dan tanah dalam unit luasan
Meteran, counter (line atau total)
3
Komposisi fraksi
< 18% koloid;
> 80% pasir kuarsitik
Warna pasir, gravimetrik
Tabung ukur, timbangan
4
Berat isi
1,4 g/cm3
Gravimetrik pada satuan volume
Lilin, tabung ukur, ring sampler, timbangan analitik
5
Porositas total
< 30%; > 70%
Perhitungan berat isi (BI) dan berat jenis (BJ)
Piknometer, timbangan analitik
6
Derajat pelulusan air
< 0,7 cm/jam
> 8,0 cm/jam
Permeabilitas
Ring sampler, double ring permeameter
Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000
3.3. Indikator kerusakan Kimia
Tanah memiliki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi. Sifat fisik dan biologi tanah dapat dilihat secara kasat mata dan diteliti dengan warna tanah, tekstur tanah, kepadatan tanah,dan lain-lain. Sifat kimia tanah mengacu pada sifat dasar tanah yang
38
memiliki derajat keasaman tanah atau pH yang berbeda-beda, pemupukan yang dilakukan oleh manusia dan kandungan organik serta mineral di dalam tanah itu sendiri. Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dasar inilah kemudian dapat diteliti bagaimana memperlakukan dan pemanfaatan tanah. Beberapa sifat kimia yang digunakan sebagai parameter adalah pH tanah, karbon tanah, nitrogen, C/N fosfat tersedia tanah. Beberapa sifat kimia tanah dapat menilai apakah suatu tanah merupakan tanah yang potensial atau tidak ( Kemas, 2005).
Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. pH tanah merupakan indikator kimia yang sangat baik kualitas tanah. Memahami pH tanah sangat penting untuk manajemen yang tepat untuk mengoptimalkan tanah dan produktivitas tanaman. pH tanah merupakan ukuran jumlah ion hidrogen dalam larutan tanah. Namun, konsentrasi sebenarnya ion hidrogen dalam larutan tanah sebenarnya cukup kecil. Misalnya, tanah dengan pH 4.0 memiliki konsentrasi ion hidrogen dalam air tanah hanya 0,0001 mol per liter. (Satu mol sama dengan jumlah atom hidrogen dalam 1 gram hidrogen). Karena sulit untuk bekerja dengan nomor seperti ini, pH dinyatakan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen, yang menghasilkan skala akrab pH berkisar 0-14. Oleh karena itu, pH = 4.0 = - log (0,0001). Karena skala pH mempekerjakan penggunaan logaritma, masing-masing seluruh Perubahan nomor (misalnya 5,0-4,0) merupakan peningkatan 10 kali lipat dalam konsentrasi H+ ion. Perhatikan bahwa sebagai jumlah ion hidrogen meningkat, pH menurun. Sebuah pH 7 akan memiliki konsentrasi ion hidrogen 100 kali kurang dari satu tanah dengan pH 5. (Tisdale et al., 1993)
39
Beberapa indikator kerusakan kimia tanah pada lahan kering dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Indikator kerusakan kimia tanah pada lahan kering No Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran Alat
1
pH (H2O) 1 : 2,5
< 4,5 ; > 8,5
Potensiometrik
pH meter, pH stick skala 0,5 satuan
2
Daya Hantar Listrik (DHL)
> 4,0 mS/cm
Tahanan listrik
EC meter
3
Redoks
< 200 mV
Tegangan listrik
pH meter, elektroda platina
Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000
Fenomena acid mine drainage (AMD) atau acid rock drainage (ARD) akibat teroksidasinya mineral bersulfur (Untung, 1993) dengan ditandai berubahnya warna air menjadi merah jingga. AMD akan memberikan serangkaian dampak yang saling berkaitan, yaitu menurunnya pH, ketersediaan dan keseimbangan unsur hara dalam tanah terganggu, serta kelarutan unsur-unsur mikro yang umumnya merupakan unsur logam meningkat (Marschner, 1995; Havlin et al., 1999).
3.4. Indikator kerusakan Biologi
Biologi tanah mempelajari tentang organisme yang hidup dan beraktivitas didalam tanah dan dengan aktivitasnya tersebut berperan dalam aliran energi dan siklus hara serta berhubungan erat dengan produksi bahan organik (Kemas, dkk, 2003). Menurut Natural Resources Conservation Service (2001) bahwa indikator kerusakan biologi berbeda dengan indikator fisika dan kimia tanah, ada beberapa pedoman khusus untuk mengelola sifat biologis tanah, hal ini sangat penting karena
40
perubahan pengelola lahan dalam jalur fungsi biologis tanah dari waktu ke waktu untuk memantau efek dari pilihan manajemen. Pemantauan adalah identifikasi tren dengan sistematis mengumpulkan data kuantitatif dari waktu ke waktu dari lokasi yang ditandai secara permanen. Tujuannya adalah untuk memantau fungsi biologis tanah yang meliputi: Evaluasi dan dokumentasi kemajuan menuju tujuan manajemen, Deteksi perubahan yang mungkin menjadi peringatan dini degradasi di masa depan, dan Penentuan kecenderungan untuk daerah dengan kondisi yang diinginkan, atau ada potensi untuk pemulihan.
Menurut Marshall,( 2014) bahwa indikator biologi menawarkan beberapa jenis informasi yang agak unik yang tidak tersedia dari metode lain, yakni : (1) peringatan dini dari kerusakan lingkungan; (2) efek yang terintegrasi dari berbagai tekanan lingkungan terhadap kesehatan organisme dan populasi, komunitas, dan ekosistem; (3) hubungan antara respon individu organisme terkena polusi dan efek pada tingkat populasi; (4) peringatan dini potensi membahayakan kesehatan manusia berdasarkan tanggapan dari satwa liar polusi; dan (5) efektivitas upaya-upaya perbaikan dalam dekontaminasi saluran air, namun demikian indikator biologi bukan satu-satunya metode untuk memantau dampak ekologi yang mungkin polutan. Salah satu metode tradisional pengukuran langsung dari polusi kimia di sungai atau di organisme itu sendiri.
Cacing tanah merupakan salah satu indikator biologi pada pengukuran tingkat kerusakan tanah. Keberadaan cacing tanah dapat meningkatkan kandungan nutrisi pada tanah yang akan menyuburkan tanah. Populasi cacing tanah dipengaruhi oleh
41
kondisi tanah habitatnya, seperti kondisi suhu, kelembapan, pH, salinitas, aerasi, dan tekstur tanah.
Menurut Kemas dkk (2003), bahwa cacing tanah (makro fauna) dapat dimanfaatkan sebagai indikator biologi maupun biomonitor dari aktivitas pertanian dan perindustrian yang menggunakan bahan-bahan kimia seperti ; pestisida atau senyawa-senyawa kimiawi toksik. Cacing tanah merupakan konsumen limbah yang mengeluarkan sekresi berupa kotoran (bunga tanah) yang kaya hara. Pakan cacing tanah berupa campuran tanah dan bahan organik, yang bersarang di dalam tanah dan saat bergerak mengeluarkan lender-lendir yang tidak saja berperan secara fisik dan kimiawi, tetapi juga berperan sebagai sumber nutria bagi mikroorganisme tanah sehingga dapat dimanfaatkan sebagai biomelioran dalam rehabilitasi atau reboisasi tanah-tanah kritis atau tanah-tanah bekas areal pertambangan.
Cacing Tubifex (cacing merah) merupakan cacing yang tahan hidup dan bahkan berkembang baik di lingkungan yang kaya bahan organik,meskipun spesies hewan yang lain telah mati. Ini berarti keberadaan cacing tersebut dapat dijadikan indikator adanya pemcemaran zat organik. Organisme yang dapat dijadikan petunjuk pencemaran dikenal sebagai indikator biologis.
Dengan demikian keberadaan cacing tanah dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat kerusakan lahan, karena dengan adanya cacing tanah suatu lahan maka terdapat pula mikroorganisme tanah yang lainnya. Ukuran ambang kritis lahan mengalami kritis dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
42
Tabel 5. Indikator Biologi Tanah pada Lahan Kering; No Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran Alat
1
Mikroba
< 102 cfu/g tanah
Plating technique
Cawan petri, colony counter
Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000
3.5. Indikator Kerusakan lingkungan Perairan
Menurut Hakim (2012) Wilayah perairan merupakan media yang rentan terhadap pencemaran. Berbagai jenis pencemar baik yang berasal dari sumber perumahan, industri, gejala alam, dan lainnya banyak memasuki badan air. Setelah terakumulasi maka secara langsung ataupun tidak langsung pencemar tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air. Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang. Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida. Klasifikasi benthos menurut ukurannya : Makrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih besar dari 1 mm (0.04 inch), contohnya cacing, pelecypod, anthozoa, echinodermata, sponge, ascidian, and crustacea. Meiobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran antara 0.1 - 1 mm, contohnya polychaete, pelecypoda, copepoda, ostracoda, cumaceans, nematoda, turbellaria, dan foraminifera. Mikrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih kecil dari 0.1 mm, contohnya bacteri, diatom, ciliata, amoeba, dan flagellata.
43
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu karena hewan bentos terus menerus berada dalam air yang kualitasnya berubah-ubah.
Jumlah dan susunan organisme dalam air sangat berhubungan dengan tingkat polusi air. Beberapa fitoplankton, seperti diatom dan dinoflagelata, dan zooplankton dari kelompok rotifera, rentan terhadap polutan sehingga keberadaannya di perairan mengindikasikan kondisi air yang cukup bersih. Sebaliknya keberadaan protozoa parasit dan bakteri koliform dalam air mengindikasikan telah terjadi polusi air. Tingginya jumlah bakteri koliform pada perairan menunjukkan bahwa perairan tersebut telah tercemar kotoran/ tinja manusia dan hewan. Keberadaan bakteri koliform pada perairan dapat mengindikasikan adanya mikroorganisme patogen, seperti protozoa parasit, bakteri patogen, dan virus, yang juga biasa terdapat pada manusia dan hewan (Hamdan, 2013).
Untuk menilai kualitas suatu lingkungan kita dapat memanfaatkan organisme yang ada disekitarnya. Keberadaan organisme pada lingkungan dapat dijadikan sebagai parameter kualitas lingkungan. Biota yang dapat dijadikan sebagai petunjuk keadaan lingkugan umum kita sebut sebagai bioindikator atau indikator biologis. Bioindikator dibedakan dalam tiga organisme, yaitu :
44
a. Organisme indikator, dengan melihat keberadaan spesies tertentu pada lingkungan, misalnya dengan indeks diversitas sebagai organisme penentu kualitas lingkungan.
b. Organisme pemantau, baik secara aktif maupun pasif, dengan menempatkan atau mengukur tingkat kerusakan yang dialami oleh suatau organisme
c. Organisme uji, yaitu organisme yang digunakan untuk menguji akumlasi dan reaksi suatu substansi kimia baik dalam laboratorium maupun di lapangan.
Beberapa bioindikator yang dapat digunakan menilai suatu pencemaran antara lain indeks coliform dan indeks pencemaran algae. Terkait dengan hal tersebut, beberapa kasus dan indikator yang dapat digunakan sebagai berikut :
1. Apabila terjadi pencemaran pada suatu perairan dengan BOD tinggi, maka flagella dapat dijadikan sebagai indikator.
2. Algae, insekta, protozoa, dan ikan tertentu mempnuyai genera yang hidup di air bersih atau di air tercemar. Sedangkan bakteri dan jamur hanya bisa digunakan untuk indikator biologik air tercemar. Misalnya kelompok algae genera chlorella selalu dijumpai pada air tercemar, sedangkan genera naviculla tidak pernah hidup di daerah tercemar.
3. Sedangkan pada pencemaran suatu perairan oleh limbah asam, akan ditandai dengan semakin meningkatnya 3 spesies indikator yaitu euglena mutabilis, chromulina Sp, dan ochromonas Sp.
4. Pada lingkungan dengan pencemaran panas (misal pembuangan limbah dari alat pendingin dengan suhu mendekati titik didih), maka berbagai biota
45
indikator biologik untuki pencemaran panas di perairan adalah beberapa algae yang termasuk kelompok Diatomae, Chlorophyceae, Cyanophyceae. Misal pada suatu ekosistem perairan yang mengalami kenaikan suhu karena pencemaran panas (dari 20ºC-50ºC), maka diatomae akan menurun drastis, sedangkan populasi chlorophyceae naik kemudian populasi turun pada suhu 46ºC (batas toleransi chlorophyceae).
5. Parameter biologis ikan dapat dijadikan sebagai pengukur kualitas lingkungan perairan. Teori Fulton memformulasikan Nutrition Value Coefficient (NVC) dengan membandingkan berat ikan (dalam gr) dengan panjangnya (cm) (Munif, 2011).
Beberapa parameter yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai apakah suatu perairan tercermar atau tidak adalah sebagai berikut :
1. Parameter Fisik
Parameter fisik meliputi pengukuran tentang warna, rasa, bau, suhu, kekeruhan, dan radioaktivitas.
2. Parameter Kimia
Parameter kimia dilakukan untuk mengetahui kadar CO2, pH, keasaman, kadar logam, dan logam berat. Sebagai contoh berikut disajukan pengukuran pH air, kadar CO2, dan oksigen terlarut.
a. Pengukuran pH air
Air sungai dalam kondisi alami yang belum tercemar memiliki rentangan pH 6,5 – 8,5. Karena pencemaran, pH air dapat menjadi lebih rendah dari 6,5 atau
46
lebih tinggi dari 8,5. Bahan-bahan organik biasanya menyebabkan kondisi air menjadi lebih asam. Kapur menyebabkan kondisi air menjadi alkali (basa). jadi, perubahan pH air tergantung kepada macam bahan pencemarnya. Perubahan nilai pH mempunyai arti penting bagi kehidupan air. Nilai pH yang rendah (sangat asam) atau tinggi (sangat basa) tidak cocok untuk kehidupan kebanyakan organisme. Untuk setiap perubahan satu unit skala pH (dari 7 ke 6 atau dari 5 ke 4) dikatakan keasaman naik 10 kali. Jika terjadi sebaliknya, keasaman turun 10 kali. Keasaman air dapat diukur dengan sederhana yaitu dengan mencelupkan kertas lakmus ke dalam air untuk melihat perubahan warnanya.
b. Pengukuran Kadar Oksigen Terlarut
Kadar oksigen terlarut dalam air yang alami berkisar 5 – 7 ppm (part per million atau satu per sejita; 1ml oksigen yang larut dalam 1 liter air dikatakan memiliki kadar oksigen 1 ppm). Penurunan kadar oksigen terlarut dapat disebabkan oleh tiga hal sebagai berikut :
1. Proses oksidasi (pembongkaran) bahan-bahan organik.
2. Proses reduksi oleh zat-zat yang dihasilkan bakteri anaerob dari dasar
perairan. 3. Proses pernapasan orgaisme yang hidup di dalam air, terutama pada malam
hari.
47
3. Parameter Biologi
Di alam terdapat hewan-hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme yang peka dan ada pula yang tahan terhadap kondisi lingkungan tertentu. Organisme yang peka akan mati karena pencemaran dan organisme yang tahan akan tetap hidup. Siput air dan Planaria merupakan contoh hewan yang peka pencemaran. Sungai yang mengandung siput air dan planaria menunjukkan sungai tersebut belum mengalami pencemaran.
Indikator biologis terkadang lebih dapat dipercaya daripada indikator kimia. Pabrik yang membuang limbah ke sungai dapat mengatur pembuangan limbahnya ketika akan dikontrol oleh pihak yang berwenang. Pengukuran secara kimia pada limbah pabrik tersebut selalu menunjukkan tidak adanya pencemaran. Tetapi tidak demikian dengan makluk hidup yang menghuni ekosistem air secara terus menerus. Disungai itu terdapat hewan-hewan, mikroorganisme, bentos, mikroinvertebrata, ganggang, yang dapat dijadikan indikator biologis.
3.6. Indikator pencemaran udara
Tingkat polusi di lingkungan perlu diketahui supaya bisa mentukan Iangkah-langkah penanggulangan dampaknya. Untuk mengetahuinya, dibutuhkan suatu pengukuran terhadap faktor-faktor fisik, kimia, atau biologi yang menunjukkan adanya degradasi atau kerusakan pada lingkungan yang tercemar. Faktor-faktor ini disebut dengan indikator polusi.
48
Indeks standar pencemar udara (ISPU) memberi informasi tingkat pencemaran udara yang merupakan hasil pemantauan konsentrasi rata-rata berbagai polutan udara selama periode 24 jam. Jenis polutan yang dipantau antara lain karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO), ozon (03), dan materi partikulat (Buttom Ash dan Fly Ash) . Peningkatan konsentrasi senyawa-senyawa polutan di udara merupakan indikator bagi tingkat polusi udara. Polusi Tanah : pH, salinitas, kandungan senyawa kimia organik, fosfor nitrogen, logam berat, dan radioaktif merupakan contoh indikator kimia bagi tingkat kerusakan tanah.
3.7. Indikator Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang terjadi dibumi dewasa ini, keadaan ini harus kita waspadai karena dampaknya yang dapat merugikan bagi kehidupan dimuka bumi ini. Oleh sebab itu, kita harus berupaya untuk menjaga dan melestarikan bumi ini agar tidak terjadi lagi kerusakan yang parah yang bisa menyebabkan perubahan iklim.
Meningkatnya rata-rata suhu atmosfer dan frekuensi kejadian cuaca ekstrem banyak dipahami sebagai ancaman penting terhadap masa depan dari seluruh masyarakat manusia dan zona ekologi sekarang ini. Menurut REED (2007) Beberapa dampak perubahan iklim yang dapat diperkirakan, diantaranya : (1) Peningkatan suhu sejak tahun 1990, suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0.3 derajat Celsius pada seluruh musim; (2) Peningkatan intensitas curah hujan - curah hujan per tahun diperkirakan meningkat 2-3% di seluruh Indonesia, dalam periode yang lebih pendek,
49
meningkatkan resiko banjir secara signifikan; (3) Ancaman terhadap keamanan pangan sebagai akibat perubahan iklim pada bidang pertanian; (4) Naiknya permukaan air laut - ini akan menggenangi daerah produktif pantai, mempengaruhi pertanian dan penghidupan pantai, termasuk pertambakan ikan dan udang, produksi padi dan jagung; (5) Air laut bertambah hangat - mempengaruhi keaneka ragaman hayati kelautan dan memberi tekanan lebih pada terumbu karang yang sudah terancam; (5) Merebaknya penyakit yang berkembang biak lewat air dan vektor - seperti malaria dan demam berdarah.
Dengan adanya dampak perubahan iklim yang dapat diperkirakan maka hal ini dapat dijadikan indikator perubahan iklim sebagai akibat pertambangan batubara yakni :
1. Peningkatan Suhu diatmosfer dan kejadian cuaca Ekstem
2. Suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0.30C
3. Adanya peningkatan intensitas curah hujan
4. Adanya perubahan pola tanam
5. Naiknya permukaan air laut
6. Meningkatnya suhu air laut
50
BAB IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil tulisan tentang indikator kerusakan lingkungan sebagai akibat pertambangan batubara dapat disimpulkan bahwa :
1. kerusakan lingkungan sebagian besar disebabkan oleh adanya campur tangan manusia dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia
2. Penambangan batubara secara terbuka (open pit mining) mempunyai andil yang sangat besar terhadap kerusakan lingkungan
3. Kerusakan lingkungan sebagai akibat pertambangan batubara secara terbuka berdampak pada ; kerusakan ekosistem, kerusakan tanah, pencemaran perairan polusi udara dan perubahan iklim.
4. Indikator ekosistem yang dijadikan tolak ukur kerusakan lingkungan adalah : kepunahan species baik mikro maupun makro fauna dan berkurangnya jumlah populasi.
5. Indikator fisika tanah yang dijadikan tolak ukur untuk menilai kerusakan lingkungan adalah ; ketebalan solum, kebatuan permukaan, komposisi fraksi, berat isi, porostas total dan derajat pelulusan air.
6. Indikator kimia yang menjadi tolak ukur untuk menilai kerusakan lingkungan adalah pH tanah, kandungan C-organik, Ratio C/N, fosfat tersedia, daya hantar listrik dan rekdoks.
51
7. Indikator biologi yang menjadi tolak ukur untuk menilai kerusakan lingkungan adalah keberadaan mikro maupun makro organisme dalam tanah.
8. Indikator lingkungan perairan dan pencemaran udara yang menjadi tolak ukur adalah parameter fisika, parameter kimia dan biologi.
9. Indikator perubahan iklim yang dapat dijadikan tolak ukur adalah adanya perubahan suhu, angin, kelembaban, curah hujan dan radiasi matahari.
52
DAFTAR PUSTAKA
Antung Deddy. 2012. Indikator Ramah Lingkungan Untuk Usaha dan Atau Kegiatan Penambangan Batubara. Asdep Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup. Mined Land Rehabilitation : Minestreaming Landscape Restoration in Indonesia. Balikpapan.
Arsyad, S. 2006. Konservasi tanah dan Air. IPB Press, Bogor.
Barbara Gottlieb with Steven G. Gilbert, PhD, DABT and Lisa Gollin Evans. 2010. Coal Ash The toxic threat to our health and environment. A Report From Physicians For Social Responsibility and Earth justice. 1625 Massachusetts Ave. NW, Suite 702 Washington, DC 20036. 1875 Connecticut Avenue, NW, Suite 1012 Washington, DC 20009.
Buckman., H.,O and Nyle.C.,Brady.1982. Ilmu Tanah. Bhatara.
Chesterfield, MO. 2012. Environmental Consequences of Open Pit Mining. http://sob-leaningleft.blogspot.com/2012/03/environmental-consequences-of-open-pit.html
Dirjend DIKTI. 1991. Kimia Tanah. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI- Press. Jakarta.
Evironmental Peformance Index (EPI) 2012. Environmental Performance Index and Pilot Trend Environmental Performance Index. Yale Center for Environmental Law and Policy, Yale University Center for International Earth Science Information Network, Columbia University. www.epi.yale.edu.
Environmental Sustainability Indicator Report. 2014. Reducing Environmental Stresses.https://www.environment.gov.za/sites/default/files/docs/ envirosustainability indicators_reducing_stress.pdf.
Geoff Nettleton, Kailash Kutwaroo. 2010. Batubara dan perubahan iklim. Down to Earth No.85 - 86, Agustus 2010. www.downtoearth-indonesia.org/id/story.
53
Graedel, T.E., and P.J. Crutzen. 1990. The Changing Atmosphere. In Managing Planet Earth. Reading from Scientific Magazine. W.H. Freeman and Company. New York.
Hakim.,M.,L. (2012). Makrozoobenthos sebagai Indikator Pencemaran Lingkungan
http://ilmukelautan.com/publikasi/biologi-kelautan/hewan-laut/436-makrozoobenthos-sebagai-indikator-pencemaran-lingkungan
Hamdan Nawawi. 2013. Indikator Polusi Secara Fisik, Kimia dan Biologi. http://hamdannawawi.blogspot.com/2013/02/indikator-polusi-secara-fisika-kimia-dan-biologi.html.
Hendy Kurniawan. 2013. Kerusakan Hutan Di Indonesia.
http://hendy13014.blog.teknikindustri.ft.mercubuana.ac.id/?p=13.
Hery Purnobasuki. 2012. Perubahan Iklim Global. herypurba-fst.web.unair.ac.id/
Holzman, David C. 2011 Mountaintop Removal Mining, Digging into community health concerns. Environmental Health Perspectives. 19(11): A476-A483.
Irwanto, 2010. Kerusakan Ekosistem Membawa Dampak Negatif Bagi Lingkungan http://ekologi-hutan.blogspot.com/2010/11/kerusakan-ekosistem.html.
Ismanto, F.2012. Perubahan Sifat-Sifat Fisik Tanah Pada Berbagai Umur Penggunaan Lahan Pada Sistem Perladangan Berpindah.
Karden Eddy Sontang Manik. 2009. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta.
Kemas Ali Hanafiah., A. Napoleon.,Nuni Ghofar. 2003. Biologi Tanah. Ekologi dan Mikrobiologi Tanah PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
_________________ 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Kuswandi, 1993. Pengapuran Tanah Pertanian.
Lockwood, AH. 2012. The Silent Epidemic: Coal and the Hidden Threat to Health. MIT Press.
Manahan, S. 1994. Envronmental Chemistry. Sixth Edition. Lewis Publishers. Washington D.C.
Marshall Adams.,S. 2013. Early Signs of Environmental Damage and Recovery. Analisys of Fish Blood Could Indicate the Presence of Environmental Threats
54
to Wildlife and People. http://web.ornl.gov/info/ornlreview/rev27-3/text/ envmain. htm.
Miller, D. H. (1985). The Heat and Water Budget of the Earth's Surface. Adv. in Geophysics.
Molycorp (2012). Molycorp innovations. Retrieved from http://www.molycorp.com /technology/molycorp-innovations/.
Muhjiddin Mawardi.2012. Pemanasan Global, Perubahan Iklim dan Kerusakan Lingkungan. http://bumiyangmemanas.blogspot.com/2013_04_01_ archive. html.
Munif Arifin. 2011. Parameter Biologis Pada Pencemaran Lingkungan. untuk http://publichealth-journal.helpingpeopleideas.com/parameter-biologis-pada-pencemaran-lingkungan.
Natural Resaources Conservation Service. 2001. Guidelines for Soil Quality Assessment in Conservation Planning. http://soils.usda.gov/sqi/
Onesimus., P., Naik Sinukaban, Suria Darma Tarigan, dan Dudung Darusman. 2011. Pengaruh Umur Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara Terhadap Fungsi Hidrologis. J. Hidrolitan, Vol 2 : 2 : 60-73, 2011 .ISSN 2086-4825.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000. Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.
Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Rachmawaty.,H.2012. Kerusakan Sumberdaya Alam dan Krisis Lingkungan. http://rahmawatihusein.staff.umy.ac.id/files/2012/10/Week6_Kerusakan-Lingk.pptx.
Rensi Febreni. 2012 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Pengelolaan Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. March 22, 2012.
REDD 2007. Perubahan Iklim, 'Pencegahan Deforestasi' dan Indonesia. Down to Earth No 74 Agustus 2007. Down to Earth No 74 Agustus 2007. www.downtoearth-indonesia.org/id/story/perubahan-iklim...Cached
Septi.,M. 2014. Tipe dan tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon di hutan dataran rendah tanah kering. http://repository.ipb.ac.id/handle /123456789/71807?.
55
Setyorini, D., Soeparto, dan Sulaeman. 2003. Kadar logam berat dalam pupuk. Dalam Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Produk Pertanian: Pertanian Produktif Ramah Lingkungan Mendukung Ketahanan dan Keamanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Setyowati,D, L. 2007. Sifat Fisik Tanah dan Kemampuan Tanah dalam Meresapkan Air. Jurusan Geografi FIS UNNES. Vol 4 Nomor 2 tahun 2004.
Soegianto., A. 2004. Metode Pendugaan Pencemaran Perairan dengan Indikator Biologis. Airlangga University Press. Surabaya.
Sofyan, H. 2009. Dampak Lingkungan Eksploitasi Tambang Batubara. http:///haniyahsofyan.blogspot.com/2009/11/dampak-lingkungan-ekspoitasi-tambang.html.
Soemarno., W. S. 2006. Pertambangan Sebagai Aset Bangsa Indonesia. Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 2 No. 4 Desember 2006.
Subowo G. 2010. Penambangan Sistem Terbuka Ramah Lingkungan dan Upaya Reklamasi Pasca Tambang Untuk Meperbaiki Kualitas Sumberdaya Lahan dan Hayati Tanah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 5 No. 2, Desember 2011. ISSN 1907-0799.
Suprayogo, et. al. 2004. Degradasi Sifat Fisik Tanah Sebagai Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Sistem Monokultur:Kajian Perubahan Makroporositas. Jurusan tanah Universitas Brawijaya.
Syawal.,Y.2013. Upaya Pelestarian Ligkungan Hidup Dalam Pembangunan Berkelanjutan.https://www.facebook.com/permalink.php?id=499503563433081&story_fbid=499600860090018.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J.D. Beaton, and J.L. Havlin. 1993. Soil acidity and basicity. p.364-404. In Soil fertility and fertilizers. 5th ed. Macmillan Publ., New York.
United Nation Departement of Public Information (UNDPI). 1990. Agenda 21: Programme of Action for Sustainable Development; Rio Declaration on Environment and Development. Statement of Forest Principles.
USDA. 2004. Soil Biology and Land Management. NRCS Soil Quality http://soils.usda.gov/sqi. Natural Resources Conservation Service. NRCS file code: 190-22-15
56
Wardhana, A., W. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta : Andi Yogyakarta http://oerleebook.files.wordpress.com/2009/10/polusi-udara.pdf http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21023/4/Chapter%20II.pdf
Wani Hadi Utomo. 1989. Konservasi Tanah Di Indonesia. Rajawali Press. Jakarta.
World Coal Association.2014. Sustainable mining practice policy statement. Coal Mining & the Environment. http://www.worldcoal.org/coal-the-environment /coal-mining-the-environment/.
World Health Organization. 2005. Damage to ecosystems poses growing threat to human health http://www.who.int/globalchange/publications/masynthesis/en/.
Yoza Fitriadi.2008. Dampak Penambangan Batubara Terhadap Kesuburan Tanah. http://www.academia.edu/4565198/Dampak_penambangan_batubara_ terhadap_tingkat_kesuburan_tanah.
Indikator Kerusakan Lingkungan Sebagai Akibat Pertambangan Batubara 4.5 5 Unknown Sunday 19 July 2015  Indikator Kerusakan Lingkungan Sebagai Akibat Pertambangan Batubara Hastirullah Fitrah 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...


No comments:

Post a Comment